Rabu, 02 Oktober 2013

CERPEN_PAYUNG CINTA DARI SURGA

PAYUNG CINTA DARI SURGA

     “Syifa. Chotto matsu (tunggu sebentar), saya mau bicara denganmu.”

     “Nani ka atta no (ada apa), Ken?” Hari ini Ken terlihat aneh, lakunya tampak berbeda dari biasanya. Dia tahu, setiap hari sepulang kuliah aku pasti pergi ke muslim center sendirian. Sekarang sedang musim hujan, di Jepang. Yah, Jepang. Siapa yang tak ingin ke Jepang.

      “Ano, hmm. Shinai (tidak)! Tidak ada apa-apa, Sumimasen! (maafkan aku)” Sapa Ken lagi, lalu ia beranjak pergi.

      Benar-benar, Ken sudah menahan langkahku hampir satu menit. Ada apa dengan Ken. Tak biasanya begitu, Kenichi itu pria paling cool di kelasku, paling cuek pada wanita. Wanita saja yang tak pernah bisa cuek dengan keberadaannya. Termasuk Miyuki, Sahabatku yang benar-benar menjadikan Kenichi penyemangatnya belajar. 
                                                                               ***

      Lalu nikmat Tuhanmu yang manakah yang akan kau dustakan? Potongan surat Ar-Rahman yang mendarah daging dikalbuku. Bisa menuntut ilmu di Jepang adalah suatu hal yang paling berharga dalam perjalanan karirku, mengingat sejarah keluargaku yang berasal dari kalangan biasa-biasa saja, bisa memeluk universitas saja sudah lebih dari cukup, apalagi jika jelas-jelas anaknya bisa terbang ke negeri orang. Dulu, Jepang hanya bisa kubayangkan lewat film animasi televisi berlayar buram dikamarku. Siapa sangka, sekarang televisi itu bahkan tak sanggup menangkap segala warna yang kulihat dengan mata telanjang. Warna dan aroma bunga sakura saat musim gugur. Berbeda sekali dengan Indonesia yang hanya memiliki 2 musim.
     Aku dan beasiswa penuh dari negeri tercinta, Indonesia. Jangan tanya beasiswa apa. sebenarnya ada banyak sekali program beasiswa di Indonesia yang bisa mengantarkanmu menjejaki dunia. Hanya saja kalian tak tahu, tak ingin tahu dan tak pernah mencari-cari tahu. Tak memanfaatkan fasilitas yang ada. Internet hanya dipakai untuk segela macam jejaring sosial, bisa terhubung dengan banyak teman dari luar kota, luar pulau dan luar negara sudah bahagia minta ampun. Padahal bisa melakukan yang lebih dari itu, mencari informasi lebih dari hanya sekadar bicara “Hai & Hallo” pada teman beda negara.

      Jepang, negeri yang tak pernah mati. Aku bermimpi bersamanya, bukan berarti aku tak punya mimpi dinegaraku, hanya saja mimpi itu telah terbunuh oleh keserakahan orang-orang besar yang menginjak kaki orang-orang kecil sepertiku.

                                                                                ***

      “Syifa, apa yang kamu lakukan disini? Anata wa daijobudesuka?(apa kamu baik-baik saja).” Kali ini Miyuki yang menyadarkanku dari lamunan.

      “Hmm. Hai’, watashi wa genkidesu (ya, saya baik-baik saja).” Jawabku seadanya pada Miyuki. Wanita mungil bermata bulat. Wajahnya bak boneka Barbie yang sering aku lihat ditelevisi. Miyuki adalah salah satu sahabatku disini. Berbeda agama tapi satu tujuan.

      “Aah, pasti kau memikirkan Kenichi. Right?” godanya.

    “Hah? Tidak sama sekali kok, apa urusannya Kenichi kupikirkan. Ah, bukannya kamu yang selalu memikirkan Kenichi si pria sok cool itu?” rayuku pada Miyuki, sengaja membuat wajahnya memerah bak lobster.

      “Ya, memang. Kamu tahu Fa, Kenichi itu berbeda dari pria Jepang pada umumnya. Orang yang paling rajin ke kuil, yang paling rajin ke perpustakaan dan yang paling keren karena bisa kuliah dengan beasiswa penuh, persis sepertimu.”

      “Ya,ya,ya kamu bisa terus saja membanggakan Ken. Tapi apa Ken mengenalmu dengan baik? Oho, I don’t think so my lovely.” Lagi-lagi kucoba untuk meremehkan Ken. Walaupun kadang aku juga tak bisa menangkis pesona Ken, walau hanya bias sekalipun. Lalu, peduli apa aku pada Ken? Fiyuh!

      “Haa, jangan begitu. Siapa lagi yang akan kufikirkan selain Ken, untuk apa aku memikirkanmu. Kamu bisa hidup sendirian, ditengah padang pasir sekalipun. You’re a strong women from Indonesia, a hero for your family. Untuk apalagi aku memikirkanmu.”

      “Mana ada manusia yang bisa hidup tanpa bantuan orang lain Miyuki. Kamu ini ada-ada saja.” Lalu kami saling tatap dan tertawa diantara wewangian bunga sakura.

      Miyuki ini adalah salah satu gadis di kampus yang sama sekali tak enggan bersahabat denganku, tak seperti yang lain, yang jika berlama-lama ngobrol denganku akan berkata aku ini “aneh”. Dulu, waktu pertama-pertama kuliah kukira ia adalah orang rantauan sepertiku, wajahnya yang blesteran German, tak meyakinkan jika ia asli Jepang. Ternyata kesalahan terbesarku terungkap saat kulihat Miyuki duduk masygul di ruang Prof.Nakamura, kupikir hanya untuk menyelesaikan sesuatu, namun ternyata prof.Nakamura adalah pamannya. Siapa yang tak kenal guru besar yang satu itu. Salah satu pendiri perguruan tinggi ini.

      Tapi Miyuki tetap dengan pilihannya, jadi wanita yang sederhana, sepertiku. Ah, bahagia sekali jika dapat sahabat yang setipe denganku. Lagi-lagi, meski kami berbeda keyakinan. Yang kusuka dari Miyuki adalah, karena ia sangat mencintai negaranya, mewarisi budi pekerti para tetuanya, menghargai sejarah kerajaan dan melestarikan budaya disana. menawarkanku berbagai macam masakan khas jepang, dari sushi, takoyaki, sashimi, mochi, sampai dorayaki, makanan favoritnya doraemon.

      Aku pun demikian, tetap mencintai negaraku, Indonesia. Setelah selesai urusanku di Jepang, aku akan kembali, mengamalkan segala ilmu yang kudapat disini. Negaraku itu butuh orang-orang yang cerdas, kreatif, mental baja dan bertanggung jawab. Bukan pemuda-pemudi bermental sayu, yang selalu terbawa arus ketika kebudayaaan luar merasuk ke urat nadinya. Berlomba-lomba jadi manusia kelas bonafit, membudi dayakan fashion british dari pada lakon srikandi. Benar-benar generasi yang galau.

                                                                             ***

      Everyday, I always spend my time with all the things that I loved in here. Like today, now at library. Kuhabiskan waktu dengan duduk fasih disebuah perpusatakaan besar di kota ini, sendirian tak masalah. Malah menambah konsentrasiku mengamati barisan kalimat didalam buku yang kubaca, buku apa saja yang menurutku menarik untuk dicerna dalam memoriku. Cari ilmu tak pandang bulu. Memang fokusku ke ranah kesehatan, tapi tidak berdosa kan jika aku banyak membaca buku-buku yang lain, sejarah jepang, kebudayaan jepang, koran hariannya, hingga seluk beluk penduduk muslim yang minoritas di negara ini. Hingga tak terasa mentari tiba-tiba beranjak meninggalkanku. Waktunya untuk kembali ke apartement sekarang juga.

      God, Langkahku tertahan karena hujan sekarang. Kulihat jam tanganku yang tersemat dilengan kanan. Yah, ini waktunya sholat maghrib. Tanpa ba bi bu, kutarik payung biru muda di guci dekat pintu perpustakaan ini, aku ingat ini musim hujan, jadi kemana-mana ya mesti sedia payung sebelum hujan toh. Lalu siap ku terpa hujan bersama payung kesayangan.

   “Wait, wait nona. maaf, itu milik saya. Apa kau ingin mencurinya?” Teriak pria yang tiba-tiba mengagetkanku dari arah belakang.

      “What? Tidak mungkin, ini milikku. Aku yang membawanya dari sejak aku keluar rumah, keluar kampus dan juga keluar perpusatakaan, payung ini akan tetap jadi milikku.” Kubalas sergahannya. Tapi, tunggu. Bukankah ia Ken, Kenichi teman sekampusku. “Ken, Kenichi? Right?.”

    “Yes, Syifa? Oh, sumimasen (maafkan aku). Tak sepantasnya aku menuduhmu mencuri payungku. Maafkan aku, baiklah, kau boleh pulang dengan payung itu sekarang.”

      “Jelas saja Ken, this is my umbrella. Bye!!!” Kutinggalkan Ken dengan tampang kesal tak terkalahkan. Jika saja ada kaca dihadapanku tadi, pasti aku akan melihat wajahku sempurna memerah karena malu. Dia menuduhku mencuri payungnya? Koto wa dekimasen! (Tidak mungkin!)

                                                                            ***

      Sejak hari itu, setiap kali terlihat Ken dihadapanku, sempurna aku akan lekas memalingkan wajah. Jelas bukan karena malu, tapi kemarahan masih membekas dibilik dadaku. Bisa-bisanya ia menuduhku mencuri hanya sekedar payung. Berkali-kali kulihat ia duduk bersama Miyuki, lepas itu Miyuki sampaikan pesan Ken padaku bahwa ia sangat menyesal atas kejadian itu. Kumaafkan sudah, tapi sepertinya wajah Ken lebih baik enyah saja dari hadapanku.

      Berbeda dengan Miyuki, dia amat senang jika aku menolak bertemu dan menolak untuk memaafkan Ken. Itu berarti ia masih punya kesempatan untuk bertemu dengan Ken. Karena sebelum aku mau bertemu dengan Ken, Ken akan terus merayu via Miyuki.

     “Syifa, arigatogozaimashita! (Terimakasih banyak). Karena keegoisanmu, aku jadi bisa sering-sering bertemu Ken. Ken cerita banyak padaku. Walau pun akan sangat menyebalkan nantinya. But, never mind.” Bicara Miyuki kali ini seolah-olah ia sudah kenal Ken belasan tahun yang lalu.

      Aku malah tertawa mendengar Miyuki bicara, tak peduli dengan reaksi seriusnya.

     ”Yes, jika hal itu yang membuatmu bahagia, aku akan tetap seperti ini, lagipula Kenichi itu juga keras kepala. Jelas-jelas isyaratku kentara sekali, jika aku tak suka dia berlama-lama didepan mataku.”

     “Ok, ok. Tak apa kau bersikap seperti itu Syifa, itu keputusanmu. Tapi bukankah ini ladang amal bagimu. Siapa tahu usaha Ken selama ini hanya untuk mengenalmu lebih jauh lagi. Kau sendiri yang ajarkan padaku, bahwa tugas kita sebagai manusia itu ya bisa bermanfaat bagi sesama.” rayu Miyuki, lagi.

      “Lalu, hubungannya apa denganku?” tanyaku heran pada Miyuki.

      “Ah, sudah-sudah. Bukan sekarang waktu yang tepat untuk bicarakan ini padamu.”

     Miyuki bisa saja membuatku mati penasaran. Maksudnya apa mengaitkan Ken dengan pasal manusia yang bermanfaat itu?

                                                                          ***

      Waktu berlalu tanpa terasa, jam bergulung dengan cepat. Sudah hampir 1 tahun aku merantau di Jepang, program profesiku pun sebentar lagi selesai. Itu berarti tak lama lagi aku akan kembali ke Indonesia, tanah kelahiran tercinta. Rasanya aku tak ingin pulang, menamatkan program profesi disini, lalu melamar kerja sebagai tenaga kesehatan di rumah sakit Jepang, hidupku pasti akan sejahtera sekali, menjadi masyarakat kelas menengah disini. Dengan gaji kisaran 15-20 juta perbulan jika dirupiahkan. Berbeda jauh dengan di Indonesia. Siapa yang tidak mau? Tapi wajah Indonesia tiap malam membayangiku, menamparku keras-keras, menyadarkan aku, jika aku memang harus pulang, mengabdi pada bangsa sendiri. Kembali, untuk mengamalkan segala ilmu yang kuraup disini. Ya, tekadku sudah kutelan bulat-bulat.

      “Miyukiiiii, Anata ga inaku naru to, totemo sabishiku narimasu. (Aku akan sangat merindukanmu).” Teriakku pada Miyuki.

      “Course Syifa, tentu. Aku juga akan sangat merindukanmu.” Jawab Miyuki dengan suara serak, dan kami pun saling merangkul satu sama lain.

      3 hari lagi aku harus pulang ke Indonesia. Meski visaku belum habis, tapi aku harus pulang, karena urusanku telah selesai disini. Kuliah sudah kutamatkan dengan baik. Lulus dengan predikat sangat memuaskan. Penelitianku dan Miyuki berhasil. Dan tentunya aku tak sabar lagi untuk menerapkan semuanya di Indonesia. Meski setelah pulang kampung aku tak tahu bagaimana nasib akan membawaku. Yang jelas, aku sudah catat beberapa nama rumah sakit besar disana, dengan tittle lulusan dari universitas Jepang, pasti akan sangat menjual sekali. Ok, I’m ready to be a professional nurse!

                                                                          ***

      Sudah satu minggu ini kerjaku dengan Miyuki hanya keliling kota, aku yang sengaja minta ditemani. Semua kenangan tentang jepang ingin kurekam baik-baik. Jadi dihari-hari terakhir aku ingin menghabiskan waktu dengan jalan-jalan saja. Tapi jatah hari ini adalah berkemas, packing. Kurapikan kamar apartementku bersama Miyuki, kumasukan semua barang dan oleh-olehku untuk dibawa pulang.

      “Syifa, ini payung kesayanganmu?” sergah Miyuki.

    “Oh, ia. Payung itu sudah lama disana. musim telah berganti Miyuki, aku tak membutuhkannya lagi. Kutinggalkan saja untukmu disini ya, aku bisa beli lagi nanti jika sudah sampai Indonesia.” Senyumku pada Miyuki.

      “Tapi, tunggu. coba kau lihat ini, kenapa ada inisial K dipegangannya? Mestinya S untuk Syifa, bukan K. atau jangan-jangan….”

     Miyuki benar, setelah kucermati ada huruf inisial K di pegangan payung itu, aku tak pernah menamai payungku dengan inisial itu. Lalu, siapa?

      “Miyuki!! No!!” Teriakku tak jelas pada Miyuki yang matanya sekarang sudah membesar karena kaget. “Aku pergi dulu, ada hal yang mesti kuselesaikan sekarang juga.”

      Kenapa selama ini aku bodoh sekali, menjadi orang yang tak cermat untuk urusan yang satu ini. 6 bulan yang lalu pernah terjadi kesalah pahaman antara aku dan Ken di perpustakaan, yang membuat aku enggan bertegur sapa dengannya. Tapi ternyata benar, payung ini milik Ken, bukan milikku. Entah kemana payung kesayanganku itu, mungkin sudah dibawa pulang oleh orang yang tanpa rasa berdosa memakainya untuk pulang berlindung dari hujan. Ah, aku benci sekali dengan diriku, keegoisan yang mempermalukan diriku sendiri.

      Lalu kemana aku harus mencari Ken, aku tak tahu dia tinggal di kamar nomor berapa. Meski berada dikompleks apartement yang sama, tapi aku tidak pernah peduli dia berada di kamar yang mana. Apa juga urusanku ingin tahu.

      Aku berjalan seakan-akan tempat ini kosong tanpa penghuni, padahal ramai sekali. Lift tak pernah kosong, jadi kuputuskan untuk menggunakan tangga darurat saja. Langsung menuju kelantai dasar gedung, menanyakan pada receptionist apakah Kenichi masih tinggal disini. Alhamdullillah ternyata Ken masih berada di apartement ini, tapi bukan di gedung yang sama denganku. Kuputuskan untuk menuju kamarnya, meski dengan rasa khawatir yang mengungkung jantungku.

      “Permisi!!” kuketuk pintu kamar Ken dengan irama yang tak harmonis.

      “Ya, siapa?” Jawab Ken dari dalam.

      “Aku!” Apa aku harus menyebutkan nama? Menyebalkan! “Aku, Syifa!”

      Kudengar langkah kaki dari dalam, setengah berlari menuju pintu. Entah apa yang dibawanya nanti, stick golf atau bahkan senjata tajam. Oh Tuhan! Tidak mungkin.

      “Syifa? Ada apa tiba-tiba mendatangiku?” Tanya Ken padaku. Dengan wajah terheran-heran, berusaha membenarkan rambutnya yang kusut.

      Ken sama sekali tak menunjukan tampang yang menyeramkan, mana bisa wajahnya berubah jadi seram. Manis, lucu, imut, baru tepat untuk menggambarkan kondisi wajahnya ini.

    “Eh, maaf. Kutunggu kau di taman belakang saja kalau begitu. Permisi.” Tiba-tiba mulutku seakan disumpal dengan puluhan bola salju, beku.

      “Baiklah,silahkan kau duluan saja, aku akan segera menyusul.” Sambut Ken mengiyakan.

                                                                           ***

      Senja kali ini menyisahkan kelabu, aku malu dengan diriku sendiri. Tapi apa daya, pertikaian ini harus segera dituntaskan. Dari pada aku pulang membawa dosa yang tertinggal di negeri yang nun jauh. Kuputuskan untuk meminta maaf saja pada Ken, sekalian pamit pulang dengannya nanti.

      Setengah jam berlalu, aku sendirian di kursi taman ini, berteman mentari yang mempesona, tahtanya tumbang sekarang, malam akan membawanya pulang.

       “Maaf sudah membuatmu menunggu, Syifa.” Suara Ken menggema dari arah kiriku.

      “Tidak apa-apa Ken, silahkan duduk.” Sempurna aku duduk berdampingan dengan Ken sekarang, tak ada pilihan lain selain bangku inilah yang tertanam di taman. Sepi, hanya kami berdua.

      “Ken, maafkan aku.” Kucoba untuk ke inti permasalahan yang membuatku menemuinya. “Ini milikmu, payung biru yang waktu itu kita perebutkan di perpusatakaan. Maafkan aku karena sudah mencurinya darimu, maafkan aku yang baru menyadari jika ini bukan milikku. Andai saja aku tidak bersikap seperti waktu itu, mungkin hubungan kita di kelas akan baik-baik saja, tidak ada permusuhan dan bisa berteman dengan baik sampai sekarang.” Kujelaskan padanya dengan nada menyesal.

      Ken menyambut penjelasanku dengan senyuman. Astaghfirullah, semoga imanku akan tetap kokoh menghadapi laki-laki ini. Jelas saja Miyuki tertarik pada Ken.

      “Aku sudah tahu jika payung itu milikku Syifa, tapi aku tak kuasa untuk merebutnya kembali darimu. Aku tak ingin membuatmu malu lebih lama lagi di perpustakaan itu, biar aku saja, aku saja yang menanggungnya Syifa.” Jelas ken.

    “Tapi, kenapa kau tidak bilang saja setelah kejadian itu Ken, di kampus, di kelas, kau bisa menjelaskannya lagi padaku. Jadi, aku tidak menanggung dosa seperti ini. Mengambil barang milik orang lain, itu jelas mencuri.”

       “Aku tidak menganggap kau mencurinya, sungguh Syifa. Aku senang kau bisa menjaga barang milikku dengan baik. Dan bagaimana aku bisa menjelaskannya padamu? Kau tidak pernah mau kutemui. Syifa, emm, aku,, aku sekarang adalah seorang muslim, aku menjadi mualaf sudah hampir setengah tahun ini.” Kali ini entah apa yang membuat wajah Ken nampak pucat pasi.

       “Alhamdullillah Ya Rabb, aku ikut senang mendengarnya Ken.”

     Kabar yang mencengangkan dari Ken, hidayah ternyata sudah sampai padanya. Baguslah. Lalu, aku teringat dengan beberapa kejadian ganjil selama beberapa bulan terakhir. Aku biasa mengikuti pengajian rutin di salah satu masjid di Jepang, berkumpul bersama masyarakat muslim disini, ada juga beberapa orang Indonesia yang berdomisili di jepang, dan tentu saja pelajar-pelajar muslim sepertiku juga ikut bergabung. Sempat beberapa kali aku sepintas seperti melihat sosok Ken duduk di syaf ikhwan, tapi kubuang prasangka itu jauh-jauh, jelas tak mungkin. Miyuki pernah bilang padaku jika Ken adalah satu-satunya pria yang rajin datang ke Kuil. Tapi ternyata benar, pria yang kulihat di masjid waktu itu adalah Ken.

      “Syifa, hidup sendirian tanpa orang-tua amat menyakitkan bagiku. Memang banyak sekali orang-orang yang menyayangiku disini. Tapi tetap saja aku rindu pulang, bersimpuh dikaki kedua orang-tuaku. Aku rajin ke kuil, karena Tuhan telah menjadi orang-tuaku selama ini. Aku tak pernah tahu keluargaku dimana, masih hidup atau pun tidak. Yang aku tahu, Ibu panti lah yang membesarkanku hingga sekarang. Memperjuangkanku agar aku bisa hidup layaknya anak-anak muda lain yang bisa menggapai cita-citanya, meski tanpa dukungan orang-tua.”

      Ken berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu menghempaskannya lagi ke udara. Seperti mengambil langkah untuk siap berlari di perlombaan maraton. Aku, dengan takjim mendengarkan.

      “Bolehkah, bolehkah aku ikut pulang bersamamu ke Indonesia?” Kali ini Ken menatapku lekat, setengah memutar badannya, mengarah padaku.

      “Maksudmu, Ken? Kau ingin ikut denganku ke Indonesia untuk bekerja disana? untuk apa, di Jepang akan lebih menjanjikan untukmu.” Jawabku panik.

    “Bukan, tapi untuk menjadi pasanganmu, pendampingmu, suamimu. Aku ingin pulang bersamamu, bertemu ayah dan ibumu. Menjadikan mereka keluargaku. Berkali-kali kucoba untuk menjelaskan ini padamu, tapi jantungku tak sanggup. Ia berdetak lebih kencang saat lisanku berniat ingin mengatakannya padamu. Lalu, kuputuskan untuk diam, hingga saat yang tepat ini datang. Sekarang, saat kau akan pulang.” Ken menjelasakan dengan seyakin-yakinnya.

      “So, will you marrie me, Syifa?” Ken, meminta dan memohon dengan sungguh-sungguh.

     Aku menghela nafas perlahan, sembari meminta pertolongan Allah untuk menguatkan lisanku, menegaskan hatiku untuk menjawab pertanyaan Ken.

      “Terimakasih untuk semua penjelasannya Ken, tapi maaf. Aku belum bisa. Tepatnya, belum mampu untuk menerima. Aku sama sekali tidak pernah menyangka kau akan memiliki niat seperti ini. Lagi pula apa yang harus kukatakan pada Miyuki nanti, Miyuki adalah salah-satu wanita yang mengagumimu dengan baik.”

      “Miyuki sudah paham, Syifa. Selama ini aku menjelaskan padanya dengan baik-baik. Miyuki wanita yang luar biasa. Tak banyak wanita yang bisa hidup sepertinya, tidak hanyut dalam zaman modernisasi. Tapi sekarang aku menemukan jalan yang benar, Allah adalah Tuhanku. Tuhanku yang Esa. Jelas berbeda keyakinan dengan Miyuki. Kau tahu, aku bungkam darimu, aku belajar agamamu dengan baik, meski bacaan Al-quranku belum begitu baik. Tapi aku terus belajar Syifa. Dan akan terus belajar meyakinkan diriku jika jalanku sekarang sudah tepat. Aku ingin pulang bersamamu.” Mata Ken berkaca-kaca, berbicara dengan mimic muka penuh pengharapan.

       Oh Tuhan, atas dasar apa aku ingin menolaknya, mungkin ia menemukan jalan-Mu. Jalan yang jelas sudah benar sekarang, permadani yang ia gunakan menuju jannah-Mu. Lalu apa yang harus aku lakukan, apa kata kelurgaku kelak jika tahu aku pulang bersama dengan laki-laki.

      “Baik, aku akan manunggumu saja, aku akan pulang 3 hari lagi. Sendirian. Tanpamu. Kau tidak akan pernah membayangkan apa jadinya jika aku pulang bersama laki-laki yang bukan mahramku. Ayahku pasti akan marah besar. Kecuali jika kau bersedia menjelaskan pada mereka terlebih dahulu.” Jawabku pasti pada Ken. Aku tak ingin membuatnya menunggu lebih lama lagi, untuk menemukan Allah, jelas ia sudah menunggu sangat lama, hingga Allah menjamah hatinya sekarang.

    “Aku sudah tahu alamatmu, nomor telfon rumahmu. Semua sudah kudapatkan dari petugas kemahasiswaan di kampus Syifa. Aku tak mau terlambat dan kehilanganmu.”

      Ya sudah, aku menghargai semua usaha laki-laki ini. Tapi aku tetap tidak bisa menjanjikan apa-apa. Hanya menunggu kabar dari orang-tuaku saja.

      “Baiklah, Ken. Aku permisi pulang. Aku meninggalkan Miyuki sendirian di apartement. Maaf sudah mengganggu waktumu.” Jelasku pada Ken, aku mulai melangkahkan kaki, pergi. Dengan hati yang entah apa yang ada didalamnya, tak jelas mengartikannya. Memvisualisasikan perasaanku jadi nyata, semoga saja ini pilihan yang tepat. Tidak meninggalkan orang yang sedang dalam pencarian.

      Bimbinglah kami Ya Rabb, berjalan beriringan menuju jannah-Mu. Kami adalah manusia pengembara. Tugas kami adalah mengabdi pada-Mu, tugas kami adalah menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang-lain. Jika keberadaanku bermanfaat bagi Ken, maka izinkanlah kami untuk bersama, jika ternyata Ken lah yang tertera di Lauhul Mafhus, maka tunjukanlah jalan yang terang Ya Rabb.

                                                                          ***

2 bulan kemudian…

      Jepang, kutinggalkan kau dengan perasaan suka cita, jika bagi semua orang perpisahan adalah hal yang menyesakkan. Namun untukku, perpisahan menjadi pintu baru bagiku, langkah awal untuk menjejaki kehidupan yang baru. Bersama Ken, bersama keluarga baruku. Di tanah kelahiran tercinta.

      Sejak Ken melafazkan ijab qobul dihadapan semua orang, sejak saat itu juga aku yakin pertolongan Allah benar-benar nyata dihadapanku. Ken, seorang Mualaf asal Jepang, menjadi WNI sekarang. Hidup damai bersama keluarga barunya di Indonesia. Ken terpesona dengan wajah Indonesia, masyarakatnya, budayanya, semuanya. Dan Miyuki, gadis itu jadi orang sukses sekarang, menemukan pasangan yang lebih dari artis Jepang. Cocok sekali dengannya yang periang.

      Ah, dunia begitu indah untuk ditempati. Sangat patut untuk disyukuri. Tapi, apalah arti jika dunia saja yang jadi tolak ukur kebahagiaan. Ada syurga yang Allah janjikan untuk kita. Maka jadilah pemenang atas segala ujian dari-Nya.

     Arigatogozaimashita, Allah. Karena ternyata, payung berwarna biru itu adalah, Payung Cinta dari Syurga.
                                                                             ***

                                                                        THE END

Rabu, 26 Juni 2013

Dunia Tanpa Suara

Dunia Tanpa Suara



     “Jadi, Ayah, kalian sudah rencanakan masa depanku? Kalian bukan Tuhan. Sungguh aku tak memiliki daya dan kuasa lagi. Garis tangan yang sudah ditentukan membuat hidupku seperti tersangka yang terpenjara. Maafkan Inai, Ayah. Inai ingin berakhir."

***

      “Tunggu Inai, Ayah. Tunggu!!”
     “Lama sekali kamu, Ayah sudah terlambat. Tak ada waktu lagi, setengah jam lagi Ayah sudah harus tiba di bandara.”
     “Sebentar lagi, Inai punya sesuatu untuk Ayah.” Aku bergegas berlari menuju garasi, berdoa agar Ayah sumringah setelah menerima kado dariku. Tapi setelah tiba disana ternyata Ayah sudah melaju. Ayah, Inai mau kasih Ayah tasbih, Inai beli setelah seminggu menyisihkan uang jajan. Untuk Ayah disana, selama dinas Ayah bisa memakainya, selepas sholat. Ayah harus rajin sholat dan mengaji. Ayah…
      Terbayang lagi olehku memori masa kecil. Ayah yang angkuh karena jabatannya, Ayah yang lebih mementingkan urusan kerjanya dibanding aku, kakak, atau bahkan Ummi. Usiaku sudah hampir 23, sedang berjuang untuk masa-masa akhir kuliah. Berada di dunia ini adalah karena Ayah dan Ummi. Bergelut dengan gudang penyakit adalah campur tangan Ayah dan Ummi. Semuanya karena Ayah dan Ummi. Mau bicara “Ayah, Rinai tidak bisa. Ummi Rinai tidak mau.” Menjadi hal yang sakral. Karena urusan masa depan, Ayah dan Ummi yang ukir. Termasuk urusan mau menjalani hidup dengan siapa aku kelak.
     “Woi, kerjaanmu melamun saja. Apa yang kau fikirkan hah?” Gema suara berat hinggap ditelingaku, pecah sudah lamunanku, entah terbang kemana.
     “Tak ada Bang, hanya melirik-lirik air hujan yang jatuh, saat hujan turun namaku selalu menyertai. Rinai Hujan. Cocokkan Bang?” Candaku pada lelaki tua bertubuh kekar ini. Namanya Catur. Entah kenapa diberi nama demikian. Mungkin, dulu orang tuanya hobi main catur malam-malam. Untung saja warna kulitnya tidak hitam-putih seperti papan catur. Hari ini giliranku dinas pagi. Aku selalu benci jika dapat giliran jaga pagi. Jalanan jika pagi selalu padat. Tinggalah aku dan motorku yang harus merayap, selip kanan dan kiri, berlomba-lomba dengan kendaraan yang lain. Terlambat barang lima belas menit saja, matilah aku. Nama baik Ayah yang dipertaruhkan. Jangan heran, sudah kubilang, berada di tempat ini adalah kehendak Ayah.
      Pagi-pagi hujan sudah membungkus kota, untung saja aku tiba setengah jam lebih awal dibanding hujan. Tak ada yang salah dengan hujan, hujan hanya air. Dengan payung kita tak akan terganggu. Dengan jas hujan, jalan motor akan tetap kencang. Apalagi mobil, sang pengendara akan tetap safety di dalam. Aku tak pernah permasalahkan hadirnya hujan. Toh jika tak ada hujan kita tak akan punya air. Hujan itu karunia Allah, maka syukurilah kehadirannya, jadikanlah teman. Aku heran dengan tetanggaku, tiap hujan dia selalu mencela hadirnya “Sial, Padiku kapan keringnya jika terus-terusan hujan.” Begitu tukasnya tiap kali datang hujan.
***


    “Pagi cantik. Wajahmu itu.” Sapa Sumantri, teman kampusku. Keturunan jawa yang, ah tak usah kujelaskan manusia ini. Tak penting, kerjaannya merayu saja.
      “Ia, ada apa dengan wajahku?” Tanyaku dengan mimik muka sebal.
     “Wajahmu pagi ini, cerah sekali. Merona, bagai bidadari calon penghuni surga.” Rayuan Sumantri pagi ini.
     “Cih, pantas saja pagi-pagi hujan, ada Pak Mantri yang kesambet rupanya.”
     “Ah, kau tak lihat mataku? Ini jujur.”
     Ku abaikan si Mantri, kubuka satu-satu lembaran buku catatan pasien. Ketemu, satu pasien baru hari ini. Aku beranjak dari kursi tempatku duduk sedari tadi. Beralih dari hujan, lalu pindah menyisir satu demi satu bad pasien. Saidina, nama pasien baru ini. Tapi kemana dia? Tak ada. Kutanya tetangga sebelah badnya pun mereka tak tahu. Jangan bilang pasien ini pagi-pagi sudah keluyuran jalan-jalan. Bisa gawat jika Bang Catur tahu pasiennya ngabur tanpa permisi.
     “Pak Mantri, ia kamu Pak Mantri. Sini sebentar.” Seruku galak.
     “Ada apa Inai? Kau baru sadar jika pujianku benar?”
     “Bukan, sini lihat! Kemana orang di bad ini? Saidina, namanya Saidina!”
    “Lah dalah, tadi ada disini toh. Piye? Sebentar lagi Mas Catur selesai apel. Gawat jika ketahuan pasiennya ngabur. Bisa jadi jus apel kita.”
     “Sana cari keluar. Kau ke kanan, aku ke kiri. Ok?”

   Fatal sekali jika satu pasien saja menghilang dari badnya pagi-pagi. Pagi hari itu kerjaan paling ribet serumah sakit, aku berada di stase bedah sekarang, banyak pasien yang operasi, entah karena kecelakaan atau karena memang ada penyakit yang harus dioperasi. Aduh, kemana Saidina ini, buat pusing saja. Hujan telah beranjak pergi sekarang, menyisahkan titik-titik airnya diatas bunga cempaka.
     “Halo, iya halo. Kau dengar suaraku? Ini Ibu Saidina, ia Saidina. Batalkan semua kegiatannya satu minggu kedepan. Halo..halo.. kau dengar kan? Iya, satu minggu. Pagi ini dia akan operasi, jadi bisa dipastikan dia tak akan bisa melanjutkan kegiatan disana. Tunda saja. Ya,ya tunda.”
      Saidina? Sepertinya itu nama yang aku sebut-sebut kesal sedari tadi. Benar saja, dia sedang duduk asik melamun dipinggir lorong rumah sakit yang menghadap ke kolam ikan, apa yang ia lakukan disini, melamun? Menunggu pelangi? Atau berceloteh bersama hujan? Ah, tak mau ambil pusing kegiatan macam apa yang ia lakukan sekarang. Tugasku adalah membawanya kembali ke kamarnya.
     “Selamat pagi Bu! Ini Saidina, pasien ruang cempaka?”
    “Oh, ia nak, benar. Maaf tadi Saidina maksa keluar, sudah Ibu larang karena hujan. Tapi masih saja ia maksa. Mau lihat hujan katanya.” Jelas Ibunya.
   “Ia bu, tidak apa-apa. jadi sekarang bisa kita kembali ke kamar? Karena sebentar lagi ada visite dokternya. Saidina operasi hari ini?”
     “Baik-baik. Ia hari ini rencana operasinya nak.”
     Ibu berpenampilan sederhana, wajahnya jangan ditanya, cantik sekali. Jika tidak salah tebak, mereka dari keturunan Aceh. Walau keriput dimana-mana tapi tetap tampak cantik. Ah, wanita Aceh memang kebanyakan seperti itu, termasuk Ummi. Ummi dibawa Ayah dari Aceh. Semasa tugas disana, menurut cerita silam saat Ayah tugas di Aceh, Ayah jatuh cinta pada gadisnya. Ummi adalah wanita sederhana yang taat betul pada suami. Ummi selalu bilang “Nak, surga untuk para istri itu ada pada suaminya.” Aku tak pernah ke Aceh, padahal inginku sangat kuat untuk kesana. Kasihan sekali jika semasa hidup aku tak pernah berjumpa dengan kakek-nenek disana. sempat aku curi-curi kesempatan untuk kesana. Menjadi backpacker seorang diri, soal ongkos urusan gampang. Tinggal minta sama Ummi, pasti ia rela menyisihkan uang belanja demi anaknya yang hendak menyusuri kota kelahiran Ummi. Ada temanku disana, aku bisa minta temani berkeliling Aceh. Lhok Na, kata Ummi rumahnya dulu disana. setahuku, Lhok Na adalah lokasi terparah saat Tsunami kemarin. Ummi menyimpan rapat-rapat rahasia tentang keluarganya. Ummi kau memang wanita yang tegar. Apa yang Ummi harapkan dari Ayah? Itu yang kubingungkan.
***
    “Selamat pagi Pak Saidina! Saya Rinai, sekarang bapak persiapan operasi ya, ini bajunya dan ini obat-obatan yang harus dibawa ke OK. Mari saya antar.” Sahutku pada lelaki ini, umurnya baru 27. Entah sudah menikah atau belum, ku panggil saja bapak, dari pada Mas, Abang atau Adik.
     Tak ada jawaban, hanya anggukan kepala dan acungan jempol yang menandakan “Ok, I’m ready to go.” Aduh, tak sopan sekali. Bukannya jawab salam dengan baik. Macam bisu saja orang ini. Setelah ku antar ke OK pun hanya anggukan kepala dan senyuman yang kudapat. Aku tahu, itu pertanda ungkapan terimakasih. Tapi, apa salahnya bicara toh bilang terimakasih atau apalah.

***


     Pagi ini aku terbebas dari jeratan Sang Catur. Urusan Saidina beres, tinggal menunggu kepulangannya saja dari OK. Santai.
     Lalu, seorang wanita muda datang menghampiriku, parasnya ayu dengan jilbab yang menjuntai panjang. Ia tersenyum, lalu menyodorkan handphone padaku. Aku tidak butuh handphone karena aku punya sendiri. Ia berikan smartphone yang tak aku miliki. Orang-orang hanya sibuk bertanya Pin padaku, Pin apa? Pin ATM? Ah, memangnya semua umat harus punya handphone yang sama? Selera orang kan beda-beda, sejak kecil aku selalu ingin jadi yang minoritas.
     “Ada yang bisa saya bantu mbak?” Sapaku pada wanita ini. Masih saja memaksaku menerima handphone digenggamannya. Ternyata, ia hanya ingin tunjukan pesan di handphone tadi.
     “Saya Rinjani, istri Pak Saidina. Kemana dia? Apa sudah masuk ruang operasi?” begitulah tulisan yang tertera dilayar handphone miliknya. Jadi, aku harus balas pesan di handphone ini? Ok. Baiklah. Agak aneh, tapi kenapa harus via handphone. Selesai kujawab, ia pun hanya berikan senyuman, tanpa kata. Aku makin penasaran ada apa dibalik kebisuan mereka. Besok akan kutanyakan pada Ibu Saidina tadi. Pikiranku berkecamuk karena mereka, tak mau bicara, atau memang tak dapat bicara.

***

      Esok hari aku kembali dengan rasa penasaran yang sudah memadati seluruh ruang didadaku, juga kepala. Pagi yang indah, kicau burung bersama mentari menyapaku dengan riang. Jadi, harus kubalas dengan riang pula mereka. Bersyukur, bisa kembali memijakkan kaki di Bumi Allah. Selamat pagi dunia! Selamat pagi motorku! Selamat pagi bunga, pohon, embun. Dan Hei, selamat pagi Pak Mantri! Lagi-lagi harus dinas bersamanya. Fiyuh!
      Kulihat dari jauh, itu Saidina bersama istrinya. Dengan lembut Rinjani menyuapinya sarapan pagi. Lamat-lamat kutelusuri gerakan tangan Saidina. Entah apa maksudnya, hanya gerakan tangan, tanpa suara. Dan dibalas jua dengan gerakan tangan Rinjani. Sejak hari itu aku tahu, jika Saidina dan Rinjani adalah sepasang Tuna Rungu. Berbincang dengan lugu dengan isyarat, dan yang tahu hanya mereka berdua. Saling memahami satu sama lain. Kami macam orang dungu yang tak bisa terjemahkan maksud dari gerakan tangan mereka. Hari demi hari, Saidina dan Rinjani macam punya dunia sendiri. Tak pernah bisa kubayangkan jika harus hidup dengan keterbatasan seperti mereka. Akan sangat sulit sekali pasti. tak bisa bicara dan juga mendengar. Itu berarti tak ada suara, tak ada senandung dan tak akan ada musik. Betapa sunyinya kehidupan mereka. Tapi coba lihat! Mereka bisa tertawa. Entah apa yang mereka guraukan disana.

***


      “Selamat pagi Ibu Saidina! Apa kabar?” sapaku padanya yang sedang duduk diberanda rumah sakit.
     “Pagi Nak, alhmdullillah baik. Rinai sendiri bagaimana? Pasti lelah sekali lepas dinas malam. Kau belum tidur?” jawab sang Ibu, sembari mempersilahkan duduk disampingnya.
     “Baik Bu, lelah itu pasti Bu. Tapi tak ada toleransi untuk semua ini. Doakan saja, 4 bulan lagi masa plonco ini selesai.” Kusambut seyumannya, jantungku yang berdegup lebih kencang sedari tadi beranjak lumer dengan senyuman akrabnya. Oh Ummi, andai saja kau ada disini. Akan kukatakan dengan jujur padamu jika wanita Aceh itu memang tak ada duanya.
      Kulihat ada tumpukan naskah drama ditangannya. Tanpa kutanya ia menjelaskan sendiri. 
     “Banyak sekali naskah yang harus dihapal Saidina. Kau tahu nak? Memiliki anak seperti Saidina adalah anugerah yang tak terhingga. Meskipun hidup dengan keterbatasan, ia tak pernah berpangku tangan mengharap welas kasihan orang. Juga Rinjani, menantuku satu itu adalah wanita calon penghuni surga. Ibu yakin itu.”
     “Betapa bahagia Ibu memiliki anak seperti mereka. Lalu, kalau boleh saya tahu, apa pekerjaan Saidina dan Rinjani, Bu?” aku bertanya makin penasaran. Aku membaca, ada sesuatu yang luar biasa yang harus aku tahu dari kehidupan Saidina dan juga Rinjani.
     “Saidina dan Rinjani adalah seorang pengajar Nak. Di dunia yang mereka punya. Saidina sering diundang ke kota-kota besar di Negara ini untuk pentas. Saidina dan Rinjani mendirikan sanggar seni, Dunia Tanpa Suara. Mereka berdua bertemu disekolah dulu. Saidina gemar sekali menggoda Rinjani. Dari kecil mereka bersama. Tanpa suara, hanya mengenal satu sama lain lewat kebiasaan semata. Dan kau tahu? Perempuan itu selalu takluk dengan puisi.”
     Aku takjub dengan penjelasan Sang Ibu. Ia mengisahkan perjalanan hidup anaknya dengan bangga. Tanpa secuil rasa malu.
      “Saya terharu mendengarnya, Bu. Drama dan puisi? Itu berarti hanya dengan isyarat tangan?”
     “Iya Nak, di teaternya ia mengajarkan bagaimana caranya berbicara dengan sesama mereka. Dan kau Nak, bagaimana kehidupanmu? Pasti orang-tuamu bangga punya anak sepertimu. Kau cantik, sempurna. Tak memiliki kekurangan apapun.”
    Dadaku mulai sesak kali ini. Karena pertanyaannya. Kuceritakan padanya apa yang sebenarnya membuatku gulana selama ini. Hal yang membuatku enggan kembali kepangkuan Ayah lebih kurang setengah tahun ini.
      “Yang Ibu lihat sekarang adalah berbeda dengan apa yang ada dihat, Bu. Aku hidup seperti burung dalam sangkar, berada di dunia kesehatan ini adalah keputusan Ayah. Terakhir Ayah bicara padaku jika masa depanku sudah direncanakannya, termasuk jodohku. Dan aku marah sejadi-jadinya. Aku putuskan untuk menurutinya, tapi di kota yang berbeda. Masalah perjodohan kutolak mentah-mentah. Awalnya aku tak mencintai dunia ini. Lalu sejak bertemu dengan orang-orang sebaik dan setulus Ibu dan juga Saidina, aku mulai belajar ikhlas Bu. Ayah sekarang tak bisa apa-apa, hanya bisa duduk dikursi roda. Sepeninggalan Ummi, Ayah seperti raja yang kehilangan tahta.”
     “Maaf Nak, Ibu turut berduka atas apa yang terjadi pada Ibumu. Tapi Nak, patuh pada orang-tua adalah kewajiban tiap anak. Mungkin Ayahmu sangat membutuhkanmu sekarang. Beruntung kau adalah seorang perawat. Ayahmu sakit? ia butuh kau Nak. Biarlah Allah yang menghukum atas segala kekhilafan ayahmu. Jangan kau yang menghukum ayahmu. Ada yang lebih berhak anakku. Ikhlaslah menjalani semua ini, jika kau ikhlas, maka Allah akan berikan yang terbaik. Jangan pernah malu untuk meminta pada-Nya. Karena Allah tahu, kapan waktu yang tepat untuk mengabulkan semua doamu.”

***

      Satu minggu selepas perbincangan itu, aku mulai sedikit-sedikit meluruhkan kebencian didadaku. Aku mulai berhubungan baik dengan ayah, walau hanya sekedar menyapa dan tanyakan kabarnya disana. Ibu Saidina memang benar, aku tak layak menghukum Ayahku. Ada yang lebih berhak. Aku mulai lagi berbincang pada Allah selepas sholat. Dulu, aku malu-malu untuk meminta pada-Nya. Begitu banyak hal yang kupinta. Aku juga mulai mencintai duniaku. Yah, kelak Ayah pasti sangat membutuhkanku. Aku berdoa agar Ummi menungguku disurga. Allah, ajari aku ilmu ikhlas seperti yang Engkau ajarkan pada Ummi. Ummi yang rela dimadu, Ummi yang tertekan batin kala itu. Engkau memang baik, membebaskan Ummi dari sakitnya. Rahasia-Mu Allah, Rinai yakin akan indah pada waktunya kelak.
     Terakhir, ku tahu Saidina ada di Aceh. Ada pementasan disana. mereka mengundangku, tapi mana bisa aku datang. Dan buku ini hadiah darinya, buku cara cepat belajar bahasa isyarat. Agar kelak jika bertemu dengannya aku bisa berkomunikasi dengan mereka. Berbincang dengan penyandang tuna rungu lainnya. Pasti menyenangkan bisa menyelami dunia mereka. Dan aku tak akan penasaran lagi dengan gerakan tangan mereka itu.

      “Rinai. Lon tuan harep droe neuh lam keadaan sehat. Lon tuan preh meuruempok dikali ukeu. Wahe dara tari, teurimeng geunaseh kaleuh neujaga ulon tuan.” (Rinai, Semoga kau selalu dalam keadaan baik. Aku menunggu pertemuan selanjutnya. Gadis cantik, terimakasih sudah merawatku). Saidina Aksa.

***
THE END



Note :
      Nama dan tempat dalam cerpen ini memang disengaja, karena memang begitulah adanya. Terimakasih kepada Bang Catur dan Pak Sumantri yang bersedia meminjamkan namanya untuk kubawa-bawa dalam cerita ini. Juga Pak Saidina Aksa. Terimakasih dan... terimakasih lagi :)
      Cerpen ini adalah salah satu cerpen pemenang dalam lomba di Milad LDK An-Najm Stik Bina Husada Palembang. Juara 1, begitulah yang tertera di pialanya. Namun tak ada karya yang benar-benar sempurna. Yang tersirat dari apresiasi pembaca dan para juri adalah ; Ini adalah langkah awal, dan akan menyusul langkah-langkah yang lainnya. Bismillah!!

 
Design by Asshodiqin Themes | Bloggerized by Armin Asshodiqin - Arm Technologi