“Permisi mbak, numpang tanya.
Kalau mau ke masjid agung itu naik angkutan umum yang mana ya? Banyak sekali
bus yang lewat, jadi bingung”.
Pemuda itu bertanya padaku,
dengan logat khasnya. ah sudah bisa ku tebak pasti dia datang dari seberang
pulau. Pulau jawa. Aku tahu karna aku juga dari sana, tepatnya orang tuaku. Meskipun
aku lahir dan besar di tanah Sriwijaya ini, tapi keluargaku punya medok yang
khas seperti pemuda ini. Sebenarnya akupun tak paham bahasa itu, hanya bisa
menjawab pertanyaan orang-orang yang bertanya padaku saja jika memang orang itu
baru ingin mengenalku.
Kujawab saja,”Ya, lihat saja
tulisan di bus itu mas, ada jurusannya kok, udah dibagi-bagi. Lihat itu, bus
yang berwarna orange. Kau bisa gunakan bus itu jika ingin ke sana”.
“oh, ia mbak. Maaf saya baru kali
ini datang ke Palembang, jadi ndak tahu apa-apa. Hanya tahu beberapa tempat dan
bangunan ternamanya saja. Dan makanannya. Siapa toh yang ndak tahu pempek.
Namanya sudah terkenal sejagat raya”. Ia tersenyum, lalu pergi begitu saja.
Heran mungkin, padaku.
Ya,ya,ya gumamku rada kesal pada
pemuda ini. Banyak sekali kau bicara padahal baru saja satu menit yang lalu
kita bertemu, tanpa tahu nama dan lainnya. Ah, untuk apa juga bertanya, toh aku
ke stasiun ini bukan untuk cari kenalan bahkan cari jodoh seperti yang di
umbar-umbar ayahku ketika asik ngobrol tentang adik ku yang akan segera di
lamar pacarnya. Ugh, menyebalkan sekali.
Aku datang kesini untuk menjemput pamanku yang
akan datang dari desa, ada keperluan mendadak katanya. Atau hanya sekedar mau
bagi-bagi hasil panen dari desa. Itu berarti akan ada banyak buah-buahan
beraneka ragam yang akan ia bawa. Aduh, aku berpikir jauh, lah gimana bawaknya
kerumah coba. Ini cuma bawa motor. Semoga saja bukan itu yang ia bawa. Tapi,
memang itulah yang aku tunggu-tunggu. Lama sekali pamanku datang, hampir
setengah jam aku duduk di ruang tunggu stasiun, lirik kanan-kiri, duduk,
berdiri, duduk lalu berdiri lagi. Sampai bosan. Tiba-tiba sepintas saja aku terpikir pada
pemuda yang barusan bertanya padaku, wajah itu. Seperti tak asing lagi, tapi
dimana aku pernah bertemu dengannya. Ah tidak mungkin, karna dia tadi bilang baru pertama kali
menginjakkan kakinya ke Palembang. Jadi tak mungkin aku pernah bertemu
dengannya. Ia kan? Aku bertanya sendiri dalam hati. Sejak kapan aku mau
repot-repot memikirkan orang yang baru saja ku lihat, tak penting.
Lalu ku
aktifkan HPku. Aku membeli HP ini baru satu bulan yang lalu atas rekomendasi
temanku. teman? Ya, mungkin saja. Karna akupun tak tahu ikatan apa yang pantas
dipakai untuk hubungan kami berdua. Hanya berceloteh via jejaring social saja.
Yang ku tahu, dia itu seperti guru bagiku. Guru privat malah, karna muridnya ya
hanya aku, lewat pesan-pesan itu kami bertukar pikiran, kadang-kadang debat,
tapi walaupun aku salah tetap saja dia yang bersedia mengalah. Kasihan sekali.
Aku tersenyum simpul mengingatnya. Kubuka akun facebook ku, kalau saja ada
pesan baru dari pemuda itu. Nihil. Kumatikan sejenak. Aku beralih pikiran pada
tasku yang didalamnya ada buku yang belum selesai-selesai kubaca. Aku bisa
membaca dimana saja, salah satunya distasiun ini, meskipun banyak orang yg lalu
lalang di depanku, suara bel stasiun sampai sapaan pedagang asongan sedikitpun
tak kuhiraukan. Satu lagi teman kecilku yang selalu kubawa. Earphone, sangat
berguna saat ini. Untuk bersembunyi dari keramaian aku memilih meramaikan
telingaku dengan alunan lagu-lagu yang sudah ku set sebagai lagu favoritku.
Lagu yang tak pernah bosan kudengarkan dan selalu ada dibarisan paling awal di
list musik HP ku. ‘Reflection’ ost Mulan, entah kenapa aku suka dengan lagu
itu, karna filmnya dan juga liriknya yang sampaikan pesanku. Aku ini, 24 jam
sehari pasti ada saja di sela-selanya ku luangkan untuk mengkhayal.
30 menit sudah aku duduk di kursi
tunggu stasiun ini, lengang. Tak juga Nampak batang hidungnya sang paman.
Aduhai, harus berapa jam aku disini. Ku lirik jam ditangan kanan ku, sudah
hampir setengah delapan pagi, itu berarti aku hanya punya sisa waktu setengah
jam lagi untuk kembali kerumah, lalu rumah sakit. Hari ini jadwal dinas pagi. Oh
No, aku berteriak sendiri dalam hati. Ku selesaikan buku yang ku baca yang sebagai
pembatasnya adalah fotoku dan sahabat seperjuanganku. Semakin sering kubaca
buku ini maka semakin sering pula ku lihat foto ini, semakin melekat pula rasa
sayangku pada mereka. Melihat senyum mereka teduh sudah hatiku, mereka juga
yang selalu transfer energi positif saat kepercayaan diriku terbatas. Bersama
mereka pula aku semakin cinta pada Rabb ku. Betapa beruntungnya aku berada
disamping mereka saat ini. Sahabatku, maafkan aku yang perlahan mungkin akan
tinggalkan kebersamaan kita. Kelak, aku ingin mandiri.
Masih dengan earphone
ditelingaku, mencoba meredam kekesalanku karna sang paman yang juga tak kunjung
tiba. Kuputuskan untuk berjalan
menyusuri gerbong kereta yang 15 menit lalu baru saja melepaskan penatnya karena
semalaman ngebut menyusuri rel-rel yang panjang. Aku berhenti di sebuah warung
kecil, tak jauh dari kereta tadi. Aku lupa jika lambung ku tersayang sejak
bangun tadi belum juga kujejalkan makanan. Tapi aku sedang tidak ingin makan.
Karna kasihan padanya, takut nanti lambungku berteriak. Dari pada repot,
kuputuskan untuk manjakannya dengan sepotong roti coklat-pisang beserta sekotak
susu coklat. Selesai sudah. Dari kejauhan, kutembak pandanganku pada orang tua
yang duduk dibangku persis ditempat aku duduk tadi. Kubuka lebar-lebar mataku
berharap akan jelas kulihat wajahnya, percuma. Aku lupa kacamataku. Dengan
cepat kakiku melangkah mendekat padanya. Benar saja, ia adalah sang paman. wah,
lihat kardus-kardus ini. Didalamnya yang jika mungkin tak meleset dugaanku,
adalah hasil panen kebunnya di desa. Langsung
saja ia kuajak beranjak dari stasiun menuju rumah. Aku tak punya banyak waktu
lagi.
Dengan sepeda motor hadiah
ayahku, kami melesat beranjak keluar dari stasiun. Aku hanya bisa duduk diam
dengan eraphone yang lupa kulepas dari leherku. Lucu sekali rasanya. Ternyata
pamanku sudah tiba lama di stasiun itu. Hanya saja ia tidak mengenaliku,
alasannya karna seragamku ini. Ia, aku sudah siap dengan seragam kebanggaan
dinasku. Ungu muda, sangat setuju dengan kebijakan kampus. Menyediakan baju
dinas ungu. Warna favoritku sepanjang masa.
Saat berada diatas jembatan yang
panjangnya tak sampai 1 kilometer itu. Kupandangi kapal-kapal kecil yang sedang
melintasi sungai kebanggaan kami. Sungai musi yang membelah daratannya antara
hulu dan hilir. Dikejauhan nampak sang mentari yang perlahan meninggi dengan
pasti. Rumahku berada di penghujung hulunya. Rumahku yang damai. Sepintas
pandanganku terganggu oleh bus yang berkelebat kencang disamping kami. Siapa itu? sepertinya laki-laki di stasiun
tadi, yang bertanya padaku tentang bus jurusan masjid megah di kota ini. Tapi,
kulihat lagi tulisan dibelakang bus itu. Bukan, itu bukan bus jurusan yang
ingin ia tuju. Astaghfirullah, apa ia salah jurusan? Keliru, bukan bus itu yang
harusnya ia gunakan untuk menuju kesana. Apa suaraku tidak terdengar olehnya.
Suaraku memang kecil, kecil sekali. Teman-temanku pun harus berkali-berkali
meminta ku untuk mengulangi perkataanku saat bicara. Itu berarti salahku jika
ternyata laki-laki itu salah jurusan. Kasihan sekali dia, pertama kali datang
kesini, bertemu dengan wanita menyebalkan seperti aku ini. Oh Tuhan, ampuni
aku. Engkau pasti tahu aku tak bermaksud seperti itu. Aku berdoa dalam hati,
semoga saja diperjalanan nanti ia akan sadar dengan sendirinya jika bus itu
salah. Jelas salah !!
Kulupakan pemuda itu. Sampai
sudah aku di parkiran depan rumah sakit, rumah sakit yang sebenarnya tidak
terlalu jauh dari kampusku, bisa ditempuh juga dengan berjalan kaki. Dan kalian
tahu, rumah sakit ini berdiri kokoh berdekatan dengan masjid agung. Tempat yang
harusnya menjadi tujuan pemuda itu. Andai saja ia mendengarkanku dengan baik,
mungkin sekarang ia sudah bisa duduk santai didalam masjid megah dan mempesona
itu. Menikmati desiran air mancur yang airnya bergantian meninggi satu demi satu.
Tapi sayang. Nasibnya hari ini kurang beruntung bertemu denganku di hari
pertama ia berkunjung. Maafkan aku, sungguh. Andai saja ia tahu penyesalanku.
Dengan langkah pasti dan sedikit
berlari, aku segera masuk keruangan tempatku dinas hari ini. Sejak awal
kedatanganku di rumah sakit ini, aku dan teman-teman sekelompokku mendapat
tugas dibagian medical bedah. Menyenangkan. Tapi hari ini, mata-mata tajam
teman-temanku nampaknya akan membunuhku. Jelas saja, aku datang terlambat
hampir sepuluh menit. Tanpa ikut apel pagi, peraturan dirumah sakit ini lumayan
ketat. Mungkin karna ini adalah rumah sakit para tentara. Aku menyeka keringat
di dahiku, lelah rasanya sejak pagi sudah harus bolak-balik lokasi yang lumayan
jauh. Itu dia, kepala ruangan ini berjalan tepat menuju kearahku yang sedang
sibuk mengatur rapi susunan peralatan di ranselku, niatku ingin mengeluarkan
botol air minum didalamnya. Tapi niat itu gagal total serentak dengan sambutan
hangat darinya. Ia bertanya kenapa bisa-bisanya aku datang terlambat hari ini,
padahal sudah jelas di peraturan rumah sakit jika mahasiswa yang dinas di sisni
tidak boleh sama sekali terlambat semenitpun.
“Maaf bu, pagi ini saya harus
menjemput saudara dari desa di stasiun. Kereta datang agak terlambat”. Jelasku
padanya. “alasan memang selalu benar nak, tapi peraturan tetap saja peraturan.
Sudah jelas harus sangat kau patuhi”. Dengan tegas dia menjelaskan kesalahanku
pagi ini, tapi dengan nada yang enak di dengar. Merdu merasuk telingaku.
Orang-orang disini nampaknya memang disiplin. Baguslah, berarti ini akan sangat
membantuku yang sampai sekarang masih kalah dalam manajemen waktu. Baik-baik,
akan aku terima apapun hukumannya, Allah memang adil. Mungkin ini sanksi
untukku karna pagi-pagi sudah melakukan kesalahan besar, mengantarkan pemuda
tak bersalah, ketempat yang salah. Tidak apa-apa, asalkan setelah ini
hari-hariku akan kembali lancar. Dan dosaku terampuni.
Jam makan siang akhirnya
menjemputku. Kubuka kotak nasi yang memang sengaja kubawa dari rumah. Lebih
enak bawa bekal dari rumah, tahu apa saja yang ada didalam masakan itu, lebih
higenis. Bukan berarti aku tidak suka jajan, bukan berarti sok bersih atau
apalah yang sering ditafsirkan teman-temanku itu. Tapi, aku tergoda pada
masakan kakak ku dirumah. Ia yang selalu pagi-pagi sudah suguhkan hidangan di
atas meja makan. Menghargai kalau kata orang jawa. Lagian, rasanya memang sudah
kerasan di lidahku. Lidah jawaku. Kubuka lagi facebook ku, berharap ada pesan
masuk dari temanku itu. Aku tersenyum, dengan jelas kutemukan satu pesan
darinya. Aneh. Kali ini pendek sekali ia mengirimkan kalimat untukku, tidak
seperti biasanya.
“Memang benar, tanah kelahiranmu
ini perlahan terkikis oleh bangunan megah. Aku melihat Gelora Sriwijaya berdiri
kokoh”.
Hanya itu yang ia kirimkan untukku
siang ini. Ada apa ini ? dan ia berbicara tentang gedung sepak bola kebanggan
di kota ini. Lokasinya memang tidak jauh dari rumahku. Tidak sampai 10 menit
jika ditempuh dengan sepeda motor. Aku tahu benar, tanah yang sekarang
ditempati oleh beberapa bangunan olahraga itu dulunya adalah rawa, bahkan
hutan-hutan yang sebagian kecilnya juga kebun atau rumah penduduk sekitar. Aku
pernah beberapa kali berpetualang dengan teman semasa kecilku kesana. Ada banyak
burung-burung yang beterbangan, bahkan ayam hutan juga ada disana. Danau kecil
dan pemandangan indah persawahan. Tapi sekarang sedikit-demi sedikit tempat itu
berubah fungsi. Ada banyak bangunan yang berdiri kokoh disana. Mulai dari
lapangan sepak bola, danau buatan untuk ski air, panjat tebing, kolam renang,
lokasi indoor dan out door yang lain. Wisma para atletpun ada disana. Bisa
dibayangkan berapa hektar lahan yang terpakai untuk membangun semua gedung itu.
Ku balas pesan darinya dengan
pertanyaan yang menjurus kelokasi itu. “Kau dimana? Sedang bermain bola disana?
hahaha. Sudah ada minat pada bola kah?”. Gurauku padanya. Tak terfikirkan
olehku jika ia adalah seorang pemuda petualang sejati. Siang itu, aku sibuk
dengan nasi dan sendok ditangan. Tak terkendali saat Kiki memanggilku untuk
lekas menghabiskan nasiku, mengajakku sholat dzuhur berjamaah dimushola rumah
sakit. Aku tak mau ketinggalan kesempatan untuk sholat berjamaah. Yang sangat
jarang aku dapati dirumah. Waktu tak terasa berlalu dengan cepat. Saatnya
istirahat dan pulang kerumah. Memang benar wejangan dari kakak seniorku
dikampus,”Tanggung jawab itu jangan dianggap sebagai beban, namun jadikanlah ia
sebagian dari hidup kita”. Tuntaslah sudah kewajibanku hari ini. Aku
melaksanakannya dengan suka cita. Jadi tak terasa jika lelah sudah bertengger
di kelopak mata. Mahasiswa kurang tidur? Itu mah biasa.
Diperjalanan pulang, aku
menikmati seruan angin yang menembus hingga ke kulitku. Udara di atas jembatan
ampera memang sedikit berbeda sore ini. Mungkin akan hujan nanti malam, atau
bahkan sore ini. Mentaripun telah berhenti bersinar diatas sana. Menyisahkan
awan kelam diatas kepala. Tiba dirumah, kuleburkan tubuhku diatas kasur yang
tiap malam bersamaku. Dikamar inilah rutinitas paling banyak kulakukan.
Membaca, bernyanyi, menyelesaikan tugasku, dan sesekali menonton TV. Lupa jika
ada pesan masuk sedari perjalanan tadi. Temanku, teman yang ingatkan aku jika
hari ini benar-benar jadwal latihanku.
Sudah kukirimkan pesan terlebih dulu padanya. Pastikan jika hari ini ada jadwal
latihan. Masih satu jam lagi untuk menuju kelokasi tempatku biasa latihan.
Salah satu gedung megah di sekitar gelora sriwijaya. Semasa SMA dulu, aku
memang rutin berlatih. Tapi sekarang waktuku banyak tersita dengan rutinitas
yang menjebakku. Ya, tak masalah. itu pilihan.
Angin diatas jembatan ampera tadi
ternyata menipuku, tak turun hujan setetespun sore ini. Tubuhku, tak lelahkah
kalian kupaksakan terus bekerja keras? Masa mudaku, tak akan kubiarkan berlalu
begitu saja tanpa hal yang berarti. Toh kami akan menua, dan saat rambut hitam
berganti putih, saat kulit lapisan terluar tak lagi sekencang sekarang. Saat
itu juga warisan termahal akan kami persembahkan untuk para penerus keturunan
ini. Menjadi role model bagi mereka. Akan lebih banyak bercerita, karna juga
banyak kejadian berharga yang sudah kami lalui. Bahagia, susah, sedih,
pengorbanan hingga tetesan darah yang sesekali persembahkan untuk sebuah
kemenangan. Dan saksi bisu dari semuanya adalah benda yang bergelantungan di
dinding itu. “semangat sekali kau hari ini clara,bagus!”. Pelatihku memang
aktif, seaktif kakinya yang sudah akrab bersama samsak. Aku tersenyum, tersengal lelah karna sedari tadi tak
berhenti berlatih teknik. Waktunya tak banyak, tinggal beberapa minggu lagi.
“istirahat 5 menit !”. Teriak
pelatihku memecah konsentrasi.
Kuhampiri tasku dan meminum
beberapa teguk air. Benda yang selanjutnya kucari adalah HP. HP yang kubeli
atas rekomendasi temanku itu. Dengan gesit melesat membuka akun facebook ku.
Tak menyesal aku mengenalmu. Sungguh.
Pesan lagi darinya, ia membalas
pesanku. ”Aku terpesona dengan bangunan ini, kutelusuri satu-satu, juga gedung
tempatmu berlatih itu. Dan berakhir disini. Lapangan bola yang megah. Tapi aku
sedikitpun belum tertarik untuk mengerjar-ngejar bolanya. Hahaha, berbeda denganmu
yang mencintai olahraga. Aku setia dengan penaku saja. Karna penapun masih
setia bersamaku. Sebenarnya bukan pena. Tapi laptopku yang setia ikut denganku
kemana-kemana. Aku akan bercerita banyak jika bertemu denganmu Clara. Banyak
sekali”.
Ku amati pesan yang ia kirimkan
untukku itu. Sekali, dua kali. Dan untuk yang ketiga kalinya, aku tidak lagi
membaca. Melainkan kaki yang hendak berlari. Kemana tujuanku? Jelas sudah,
Gedung terbesar yang menjadi pusat dari semua gedung di kompleks itu. Tak lain
adalah Gelora Sriwijaya. Lapangan sepak bola itu berdiri mantap dipandangan
mataku sore ini. Aku berlari tak menghiraukan semua orang yang memandangiku
terheran-heran. Tak juga pedulikan teriakan teman-temanku.
“Clara, where are
you going now?”. Teriak lelaki berkebangsaan Laos yang beberapa bulan ini ikut
bergabung, berlatih. Mahasiswa yang mendapat beasiswa penuh dari negaranya
untuk belajar Bahasa Indonesia selama 1 tahun. “Sok inggris ah”, gumamku dalam
hati.
Entah kenapa kakiku tak bersedia
untuk berhenti, agak jauh aku berlari, meskipun gedung ini berdekatan tapi
tetap saja terasa jauh. Karna gedung ini juga tidak kecil. Megah. Seperti hotel
bintang 5. Tinggi dan banyak tangga. Aku berlari kesisi barat gedung itu, ku
pandang-pandangi semua kursi penonton
yang berjejer rapi. Kosong. Tak seorangpun berada disana. Tuhan, dia disini
siang tadi. Tepat di gedung ini. Kubuka lagi pesan facebook ku. Tak ada balasan
lagi. Sebenarnya pesan terakhir yang ia kirimkan adalah saat aku selesai sholat
jamaah di mushola rumah sakit. Tak lagi kubuka facebook itu. Karna terlalu
lelah mungkin. Itu berarti sudah 3 jam lebih. Mungkinkah Ia masih disini,
digedung ini? Atau digedung yang lain? Tapi dimana. Ada banyak gedung di sini.
Yang kutahu, dia tak pernah bahas tentang olahraga favoritnya. Jadi mana aku
tahu dia suka olahraga apa. Kubalas lagi pesan itu. “Kau tahu mas, aku disini.
Digedung ini. Kau dimana?”.
Kuputusakan untuk berlari ke
timur. Jauh memutar dari tempat aku berdiri tadi. Sepi, karna juga hari ini
tidak ada jadwal latihan ataupun pertandingan club lokal. Kuputusakan untuk
turun, berlari kelapangan. Menginjak rerumputan lapangan luas itu. terjatuh,
baju latihan putihku sesaat kotor sudah. Dan aku baru tersadar, saat mataku
menatap kebawah. Aku tidak menggunakan alas kaki apapun. Oh Tuhan, segila ini
kah aku? Ya, aku pantas seperti ini. Kesempatan ini mungkin tidak akan datang
dua kali. Pemuda itu memang gemar menelusuri pelosok negeri. Terakhir, ia
kabarkan padaku jika ia sudah di Jakarta. Rindu pada perpustakaan Universitas
Indonesia yang tersohor itu. Tak ada kabar jika ternyata sekarang adalah
jatahnya untuk menapaki ranah sumatera. Sedikit kecewa, aku berjalan perlahan
menuju lapangan sepak bola itu, air menetesi pipiku. Bukan air mata, tapi air
yang jatuh dari langit. Gerimis membasahi jilbab hitamku. Tak peduli sebanyak
apa air yang sudah membasahi jilbab bahkan bajuku. Aku hanya memandangi Hpku,
berharap pesan itu akan tiba. Tapi nihil.
Aku benar-benar kesal pada
diriku. Dia juga mungkin menunggu balasan pesan dari siang tadi. Hujan terus
saja menghantam tubuhku, sekarang bukan lagi gerimis. Telah berganti dengan
deraian air yang lebih ramai. Basah sudah. Air mata dan air hujan tak lagi bisa
dibedakan. Kakiku lelah, tak lagi bisa kompromi untuk diajak pergi dari
lapangan yang sekarang basah. Aku merintih dalam hati. Kenapa tak beri kabar
sebelumnya, kenapa? Aku duduk beralaskan tanah,menyatu dengan rerumputan. Tak
ada seorangpun disini. Hanya hujan yang seakan mengerti.
“Hei jagoan, sedang apa disini?
Tak ada pertandingan. Kau salah lokasi. Disini tempat orang perebutkan bola.
Bukan bertarung”. Suara lelaki yang sepertinya kukenal. Berlomba-lomba dengan
nyanyian rintik hujan. Memecah sunyi.
Ku angkat kepalaku perlahan,
wajahku yang sudah lebih dulu basah. Tak jelas ekspresi apa yang kutunjukkan
padanya. Siapa dia? Tak kukenal sama sekali. 10 detik berlalu, dan kuputuskan
untuk berdiri. Wajahnya. Ia adalah pemuda di stasiun tadi pagi, kupandangi
wajahnya ragu-ragu. Seperti pernah kulihat sebelumnya, di facebook itu. Benar
sudah dugaanku.
“Mas, mas Fathul? Kau kah ini?”.
“Siapa lagi jika bukan aku”. Dia
tersenyum. Senyuman yang melumerkan perasaanku yang sedari duduk ditanah tadi
sudah mengeras karena kesal. Ini benar-benar dia, aku yakin itu. Kaos yang
digunakannyapun berbicara demikian. Kaos hijau bertuliskan ‘Backpacker, besar
dan dewasa di jalan nusantara’. Ya, aku ingat. Kaos kebanggaan dari teman
backpacker di Lampung yang pernah ia ceritakan. Aku berdiri seperti orang
bodoh, berfikir heran. Kapan ia berganti pakaian, karena bukan ini yang ia
gunakan tadi pagi.
“Hei, kau masih betah disini? Aku
tidak, jadi mari menepi berteduh digedung sana”.
Kamipun berjalan beriringan
menuju tempat kami berlindung dari hamparan hujan, tak ada kata lagi yang bisa
ku ucapkan. Sungguh pertemuan yang tak terduga. Mungkin takdir Allah jika
memang harus bertemu dalam kondisi yang memalukan seperti ini. Aku tidak bisa
menyembunyikan lagi wajahku. Dia sudah jelas dihadapanku.
“Ini, keringkan wajahmu itu. Kau
basah”. Ia mengeluarkan sapu tangan dari dalam tasnya.
“Di stasiun tadi, kau bilang akan
ke masjid agung. Kenapa kau kesini? Kau salah jurusan mas”. Aku bertanya
padanya, mencobanya sedari tadi. Sebenarnya, mencairkan suasana yang kaku.
“Ia, aku berubah pikiran. Kau
bilang ada kompleks bangunan olahraga di Palembang. Stadion kebanggaan kalian
bukan? Yang juga dekat dengan rumahmu. Itu berarti aku sekaligus bisa mengenal
lingkungan tempat kau tinggal kan?”. Lagi-lagi ia tersenyum, aku tahu ia
mencoba rileks denganku yang sedari tadi nampak kedinginan sekali.
Lega. Berarti dugaanku salah.
Bukan salahku jika pemuda ini salah jurusan. Tapi memang itu adalah
keputusannya sendiri. Lalu, tak lagi aku berani banyak bicara. Hanya tangannya
yang beranjak temukan barang dari dalam tasnya. Sebuah buku berwarna putih yang
ia bawa.
“ini, bacalah. Tenang, tak perlu
kau minta. Sudah ada tanda tanganku disana”.
“Terimakasih mas, senang sekali
bisa bertemu dengan penulis bukunya langsung. Tunggu aku, hingga terkumpul
nyaliku untuk bepergian sepertimu. Keliling Indonesia”.
“tenang saja, puncak semeru akan
menjadi saksi betapa tangguhnya dirimu jagoan”.
Aku tersenyum, hatiku sekarang
sudah terkendali, karenanya.
Sore itu, tak terasa hujan
beranjak pergi. Dan kau tahu, pertemuan ini adalah anugerah. Seperti tetesan
hujan yang Ia berikan sebagai pengiring kedatanganmu sore ini. Dan aku, akan
selalu menyukai hujan beserta nyanyiannya. Dengan itu, aku akan ingat padamu.