Jumat, 11 Januari 2013

Menjalin Pertemuan II


 “Permisi mbak, numpang tanya. Kalau mau ke masjid agung itu naik angkutan umum yang mana ya? Banyak sekali bus yang lewat, jadi bingung”.
Pemuda itu bertanya padaku, dengan logat khasnya. ah sudah bisa ku tebak pasti dia datang dari seberang pulau. Pulau jawa. Aku tahu karna aku juga dari sana, tepatnya orang tuaku. Meskipun aku lahir dan besar di tanah Sriwijaya ini, tapi keluargaku punya medok yang khas seperti pemuda ini. Sebenarnya akupun tak paham bahasa itu, hanya bisa menjawab pertanyaan orang-orang yang bertanya padaku saja jika memang orang itu baru ingin mengenalku.

Kujawab saja,”Ya, lihat saja tulisan di bus itu mas, ada jurusannya kok, udah dibagi-bagi. Lihat itu, bus yang berwarna orange. Kau bisa gunakan bus itu jika ingin ke sana”.
“oh, ia mbak. Maaf saya baru kali ini datang ke Palembang, jadi ndak tahu apa-apa. Hanya tahu beberapa tempat dan bangunan ternamanya saja. Dan makanannya. Siapa toh yang ndak tahu pempek. Namanya sudah terkenal sejagat raya”. Ia tersenyum, lalu pergi begitu saja. Heran mungkin, padaku.

Ya,ya,ya gumamku rada kesal pada pemuda ini. Banyak sekali kau bicara padahal baru saja satu menit yang lalu kita bertemu, tanpa tahu nama dan lainnya. Ah, untuk apa juga bertanya, toh aku ke stasiun ini bukan untuk cari kenalan bahkan cari jodoh seperti yang di umbar-umbar ayahku ketika asik ngobrol tentang adik ku yang akan segera di lamar pacarnya. Ugh, menyebalkan sekali.

Aku datang kesini untuk menjemput pamanku yang akan datang dari desa, ada keperluan mendadak katanya. Atau hanya sekedar mau bagi-bagi hasil panen dari desa. Itu berarti akan ada banyak buah-buahan beraneka ragam yang akan ia bawa. Aduh, aku berpikir jauh, lah gimana bawaknya kerumah coba. Ini cuma bawa motor. Semoga saja bukan itu yang ia bawa. Tapi, memang itulah yang aku tunggu-tunggu. Lama sekali pamanku datang, hampir setengah jam aku duduk di ruang tunggu stasiun, lirik kanan-kiri, duduk, berdiri, duduk lalu berdiri lagi. Sampai bosan.  Tiba-tiba sepintas saja aku terpikir pada pemuda yang barusan bertanya padaku, wajah itu. Seperti tak asing lagi, tapi dimana aku pernah bertemu dengannya. Ah tidak mungkin,  karna dia tadi bilang baru pertama kali menginjakkan kakinya ke Palembang. Jadi tak mungkin aku pernah bertemu dengannya. Ia kan? Aku bertanya sendiri dalam hati. Sejak kapan aku mau repot-repot memikirkan orang yang baru saja ku lihat, tak penting. 

Lalu ku aktifkan HPku. Aku membeli HP ini baru satu bulan yang lalu atas rekomendasi temanku. teman? Ya, mungkin saja. Karna akupun tak tahu ikatan apa yang pantas dipakai untuk hubungan kami berdua. Hanya berceloteh via jejaring social saja. Yang ku tahu, dia itu seperti guru bagiku. Guru privat malah, karna muridnya ya hanya aku, lewat pesan-pesan itu kami bertukar pikiran, kadang-kadang debat, tapi walaupun aku salah tetap saja dia yang bersedia mengalah. Kasihan sekali. Aku tersenyum simpul mengingatnya. Kubuka akun facebook ku, kalau saja ada pesan baru dari pemuda itu. Nihil. Kumatikan sejenak. Aku beralih pikiran pada tasku yang didalamnya ada buku yang belum selesai-selesai kubaca. Aku bisa membaca dimana saja, salah satunya distasiun ini, meskipun banyak orang yg lalu lalang di depanku, suara bel stasiun sampai sapaan pedagang asongan sedikitpun tak kuhiraukan. Satu lagi teman kecilku yang selalu kubawa. Earphone, sangat berguna saat ini. Untuk bersembunyi dari keramaian aku memilih meramaikan telingaku dengan alunan lagu-lagu yang sudah ku set sebagai lagu favoritku. Lagu yang tak pernah bosan kudengarkan dan selalu ada dibarisan paling awal di list musik HP ku. ‘Reflection’ ost Mulan, entah kenapa aku suka dengan lagu itu, karna filmnya dan juga liriknya yang sampaikan pesanku. Aku ini, 24 jam sehari pasti ada saja di sela-selanya ku luangkan untuk mengkhayal.

30 menit sudah aku duduk di kursi tunggu stasiun ini, lengang. Tak juga Nampak batang hidungnya sang paman. Aduhai, harus berapa jam aku disini. Ku lirik jam ditangan kanan ku, sudah hampir setengah delapan pagi, itu berarti aku hanya punya sisa waktu setengah jam lagi untuk kembali kerumah, lalu rumah sakit. Hari ini jadwal dinas pagi. Oh No, aku berteriak sendiri dalam hati. Ku selesaikan buku yang ku baca yang sebagai pembatasnya adalah fotoku dan sahabat seperjuanganku. Semakin sering kubaca buku ini maka semakin sering pula ku lihat foto ini, semakin melekat pula rasa sayangku pada mereka. Melihat senyum mereka teduh sudah hatiku, mereka juga yang selalu transfer energi positif saat kepercayaan diriku terbatas. Bersama mereka pula aku semakin cinta pada Rabb ku. Betapa beruntungnya aku berada disamping mereka saat ini. Sahabatku, maafkan aku yang perlahan mungkin akan tinggalkan kebersamaan kita. Kelak, aku ingin mandiri.

Masih dengan earphone ditelingaku, mencoba meredam kekesalanku karna sang paman yang juga tak kunjung tiba. Kuputuskan untuk  berjalan menyusuri gerbong kereta yang 15 menit lalu baru saja melepaskan penatnya karena semalaman ngebut menyusuri rel-rel yang panjang. Aku berhenti di sebuah warung kecil, tak jauh dari kereta tadi. Aku lupa jika lambung ku tersayang sejak bangun tadi belum juga kujejalkan makanan. Tapi aku sedang tidak ingin makan. Karna kasihan padanya, takut nanti lambungku berteriak. Dari pada repot, kuputuskan untuk manjakannya dengan sepotong roti coklat-pisang beserta sekotak susu coklat. Selesai sudah. Dari kejauhan, kutembak pandanganku pada orang tua yang duduk dibangku persis ditempat aku duduk tadi. Kubuka lebar-lebar mataku berharap akan jelas kulihat wajahnya, percuma. Aku lupa kacamataku. Dengan cepat kakiku melangkah mendekat padanya. Benar saja, ia adalah sang paman. wah, lihat kardus-kardus ini. Didalamnya yang jika mungkin tak meleset dugaanku, adalah hasil panen kebunnya di desa.  Langsung saja ia kuajak beranjak dari stasiun menuju rumah. Aku tak punya banyak waktu lagi.

Dengan sepeda motor hadiah ayahku, kami melesat beranjak keluar dari stasiun. Aku hanya bisa duduk diam dengan eraphone yang lupa kulepas dari leherku. Lucu sekali rasanya. Ternyata pamanku sudah tiba lama di stasiun itu. Hanya saja ia tidak mengenaliku, alasannya karna seragamku ini. Ia, aku sudah siap dengan seragam kebanggaan dinasku. Ungu muda, sangat setuju dengan kebijakan kampus. Menyediakan baju dinas ungu. Warna favoritku sepanjang masa.

Saat berada diatas jembatan yang panjangnya tak sampai 1 kilometer itu. Kupandangi kapal-kapal kecil yang sedang melintasi sungai kebanggaan kami. Sungai musi yang membelah daratannya antara hulu dan hilir. Dikejauhan nampak sang mentari yang perlahan meninggi dengan pasti. Rumahku berada di penghujung hulunya. Rumahku yang damai. Sepintas pandanganku terganggu oleh bus yang berkelebat kencang disamping kami.  Siapa itu? sepertinya laki-laki di stasiun tadi, yang bertanya padaku tentang bus jurusan masjid megah di kota ini. Tapi, kulihat lagi tulisan dibelakang bus itu. Bukan, itu bukan bus jurusan yang ingin ia tuju. Astaghfirullah, apa ia salah jurusan? Keliru, bukan bus itu yang harusnya ia gunakan untuk menuju kesana. Apa suaraku tidak terdengar olehnya. Suaraku memang kecil, kecil sekali. Teman-temanku pun harus berkali-berkali meminta ku untuk mengulangi perkataanku saat bicara. Itu berarti salahku jika ternyata laki-laki itu salah jurusan. Kasihan sekali dia, pertama kali datang kesini, bertemu dengan wanita menyebalkan seperti aku ini. Oh Tuhan, ampuni aku. Engkau pasti tahu aku tak bermaksud seperti itu. Aku berdoa dalam hati, semoga saja diperjalanan nanti ia akan sadar dengan sendirinya jika bus itu salah. Jelas salah !!

Kulupakan pemuda itu. Sampai sudah aku di parkiran depan rumah sakit, rumah sakit yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari kampusku, bisa ditempuh juga dengan berjalan kaki. Dan kalian tahu, rumah sakit ini berdiri kokoh berdekatan dengan masjid agung. Tempat yang harusnya menjadi tujuan pemuda itu. Andai saja ia mendengarkanku dengan baik, mungkin sekarang ia sudah bisa duduk santai didalam masjid megah dan mempesona itu. Menikmati desiran air mancur yang airnya bergantian meninggi satu demi satu. Tapi sayang. Nasibnya hari ini kurang beruntung bertemu denganku di hari pertama ia berkunjung. Maafkan aku, sungguh. Andai saja ia tahu penyesalanku.

Dengan langkah pasti dan sedikit berlari, aku segera masuk keruangan tempatku dinas hari ini. Sejak awal kedatanganku di rumah sakit ini, aku dan teman-teman sekelompokku mendapat tugas dibagian medical bedah. Menyenangkan. Tapi hari ini, mata-mata tajam teman-temanku nampaknya akan membunuhku. Jelas saja, aku datang terlambat hampir sepuluh menit. Tanpa ikut apel pagi, peraturan dirumah sakit ini lumayan ketat. Mungkin karna ini adalah rumah sakit para tentara. Aku menyeka keringat di dahiku, lelah rasanya sejak pagi sudah harus bolak-balik lokasi yang lumayan jauh. Itu dia, kepala ruangan ini berjalan tepat menuju kearahku yang sedang sibuk mengatur rapi susunan peralatan di ranselku, niatku ingin mengeluarkan botol air minum didalamnya. Tapi niat itu gagal total serentak dengan sambutan hangat darinya. Ia bertanya kenapa bisa-bisanya aku datang terlambat hari ini, padahal sudah jelas di peraturan rumah sakit jika mahasiswa yang dinas di sisni tidak boleh sama sekali terlambat semenitpun.

“Maaf bu, pagi ini saya harus menjemput saudara dari desa di stasiun. Kereta datang agak terlambat”. Jelasku padanya. “alasan memang selalu benar nak, tapi peraturan tetap saja peraturan. Sudah jelas harus sangat kau patuhi”. Dengan tegas dia menjelaskan kesalahanku pagi ini, tapi dengan nada yang enak di dengar. Merdu merasuk telingaku. Orang-orang disini nampaknya memang disiplin. Baguslah, berarti ini akan sangat membantuku yang sampai sekarang masih kalah dalam manajemen waktu. Baik-baik, akan aku terima apapun hukumannya, Allah memang adil. Mungkin ini sanksi untukku karna pagi-pagi sudah melakukan kesalahan besar, mengantarkan pemuda tak bersalah, ketempat yang salah. Tidak apa-apa, asalkan setelah ini hari-hariku akan kembali lancar. Dan dosaku terampuni.

Jam makan siang akhirnya menjemputku. Kubuka kotak nasi yang memang sengaja kubawa dari rumah. Lebih enak bawa bekal dari rumah, tahu apa saja yang ada didalam masakan itu, lebih higenis. Bukan berarti aku tidak suka jajan, bukan berarti sok bersih atau apalah yang sering ditafsirkan teman-temanku itu. Tapi, aku tergoda pada masakan kakak ku dirumah. Ia yang selalu pagi-pagi sudah suguhkan hidangan di atas meja makan. Menghargai kalau kata orang jawa. Lagian, rasanya memang sudah kerasan di lidahku. Lidah jawaku. Kubuka lagi facebook ku, berharap ada pesan masuk dari temanku itu. Aku tersenyum, dengan jelas kutemukan satu pesan darinya. Aneh. Kali ini pendek sekali ia mengirimkan kalimat untukku, tidak seperti biasanya. 

“Memang benar, tanah kelahiranmu ini perlahan terkikis oleh bangunan megah. Aku melihat Gelora Sriwijaya berdiri kokoh”.

Hanya itu yang ia kirimkan untukku siang ini. Ada apa ini ? dan ia berbicara tentang gedung sepak bola kebanggan di kota ini. Lokasinya memang tidak jauh dari rumahku. Tidak sampai 10 menit jika ditempuh dengan sepeda motor. Aku tahu benar, tanah yang sekarang ditempati oleh beberapa bangunan olahraga itu dulunya adalah rawa, bahkan hutan-hutan yang sebagian kecilnya juga kebun atau rumah penduduk sekitar. Aku pernah beberapa kali berpetualang dengan teman semasa kecilku kesana. Ada banyak burung-burung yang beterbangan, bahkan ayam hutan juga ada disana. Danau kecil dan pemandangan indah persawahan. Tapi sekarang sedikit-demi sedikit tempat itu berubah fungsi. Ada banyak bangunan yang berdiri kokoh disana. Mulai dari lapangan sepak bola, danau buatan untuk ski air, panjat tebing, kolam renang, lokasi indoor dan out door yang lain. Wisma para atletpun ada disana. Bisa dibayangkan berapa hektar lahan yang terpakai untuk membangun semua gedung itu.

Ku balas pesan darinya dengan pertanyaan yang menjurus kelokasi itu. “Kau dimana? Sedang bermain bola disana? hahaha. Sudah ada minat pada bola kah?”. Gurauku padanya. Tak terfikirkan olehku jika ia adalah seorang pemuda petualang sejati. Siang itu, aku sibuk dengan nasi dan sendok ditangan. Tak terkendali saat Kiki memanggilku untuk lekas menghabiskan nasiku, mengajakku sholat dzuhur berjamaah dimushola rumah sakit. Aku tak mau ketinggalan kesempatan untuk sholat berjamaah. Yang sangat jarang aku dapati dirumah. Waktu tak terasa berlalu dengan cepat. Saatnya istirahat dan pulang kerumah. Memang benar wejangan dari kakak seniorku dikampus,”Tanggung jawab itu jangan dianggap sebagai beban, namun jadikanlah ia sebagian dari hidup kita”. Tuntaslah sudah kewajibanku hari ini. Aku melaksanakannya dengan suka cita. Jadi tak terasa jika lelah sudah bertengger di kelopak mata. Mahasiswa kurang tidur? Itu mah biasa.

Diperjalanan pulang, aku menikmati seruan angin yang menembus hingga ke kulitku. Udara di atas jembatan ampera memang sedikit berbeda sore ini. Mungkin akan hujan nanti malam, atau bahkan sore ini. Mentaripun telah berhenti bersinar diatas sana. Menyisahkan awan kelam diatas kepala. Tiba dirumah, kuleburkan tubuhku diatas kasur yang tiap malam bersamaku. Dikamar inilah rutinitas paling banyak kulakukan. Membaca, bernyanyi, menyelesaikan tugasku, dan sesekali menonton TV. Lupa jika ada pesan masuk sedari perjalanan tadi. Temanku, teman yang ingatkan aku jika hari ini benar-benar jadwal latihanku. Sudah kukirimkan pesan terlebih dulu padanya. Pastikan jika hari ini ada jadwal latihan. Masih satu jam lagi untuk menuju kelokasi tempatku biasa latihan. Salah satu gedung megah di sekitar gelora sriwijaya. Semasa SMA dulu, aku memang rutin berlatih. Tapi sekarang waktuku banyak tersita dengan rutinitas yang menjebakku. Ya, tak masalah. itu pilihan.

Angin diatas jembatan ampera tadi ternyata menipuku, tak turun hujan setetespun sore ini. Tubuhku, tak lelahkah kalian kupaksakan terus bekerja keras? Masa mudaku, tak akan kubiarkan berlalu begitu saja tanpa hal yang berarti. Toh kami akan menua, dan saat rambut hitam berganti putih, saat kulit lapisan terluar tak lagi sekencang sekarang. Saat itu juga warisan termahal akan kami persembahkan untuk para penerus keturunan ini. Menjadi role model bagi mereka. Akan lebih banyak bercerita, karna juga banyak kejadian berharga yang sudah kami lalui. Bahagia, susah, sedih, pengorbanan hingga tetesan darah yang sesekali persembahkan untuk sebuah kemenangan. Dan saksi bisu dari semuanya adalah benda yang bergelantungan di dinding itu. “semangat sekali kau hari ini clara,bagus!”. Pelatihku memang aktif, seaktif kakinya yang sudah akrab bersama samsak. Aku tersenyum, tersengal lelah karna sedari tadi tak berhenti berlatih teknik. Waktunya tak banyak, tinggal beberapa minggu lagi.

“istirahat 5 menit !”. Teriak pelatihku memecah konsentrasi.

Kuhampiri tasku dan meminum beberapa teguk air. Benda yang selanjutnya kucari adalah HP. HP yang kubeli atas rekomendasi temanku itu. Dengan gesit melesat membuka akun facebook ku. Tak menyesal aku mengenalmu. Sungguh.

Pesan lagi darinya, ia membalas pesanku. ”Aku terpesona dengan bangunan ini, kutelusuri satu-satu, juga gedung tempatmu berlatih itu. Dan berakhir disini. Lapangan bola yang megah. Tapi aku sedikitpun belum tertarik untuk mengerjar-ngejar bolanya. Hahaha, berbeda denganmu yang mencintai olahraga. Aku setia dengan penaku saja. Karna penapun masih setia bersamaku. Sebenarnya bukan pena. Tapi laptopku yang setia ikut denganku kemana-kemana. Aku akan bercerita banyak jika bertemu denganmu Clara. Banyak sekali”. 

Ku amati pesan yang ia kirimkan untukku itu. Sekali, dua kali. Dan untuk yang ketiga kalinya, aku tidak lagi membaca. Melainkan kaki yang hendak berlari. Kemana tujuanku? Jelas sudah, Gedung terbesar yang menjadi pusat dari semua gedung di kompleks itu. Tak lain adalah Gelora Sriwijaya. Lapangan sepak bola itu berdiri mantap dipandangan mataku sore ini. Aku berlari tak menghiraukan semua orang yang memandangiku terheran-heran. Tak juga pedulikan teriakan teman-temanku. 

“Clara, where are you going now?”. Teriak lelaki berkebangsaan Laos yang beberapa bulan ini ikut bergabung, berlatih. Mahasiswa yang mendapat beasiswa penuh dari negaranya untuk belajar Bahasa Indonesia selama 1 tahun. “Sok inggris ah”, gumamku dalam hati.

Entah kenapa kakiku tak bersedia untuk berhenti, agak jauh aku berlari, meskipun gedung ini berdekatan tapi tetap saja terasa jauh. Karna gedung ini juga tidak kecil. Megah. Seperti hotel bintang 5. Tinggi dan banyak tangga. Aku berlari kesisi barat gedung itu, ku pandang-pandangi  semua kursi penonton yang berjejer rapi. Kosong. Tak seorangpun berada disana. Tuhan, dia disini siang tadi. Tepat di gedung ini. Kubuka lagi pesan facebook ku. Tak ada balasan lagi. Sebenarnya pesan terakhir yang ia kirimkan adalah saat aku selesai sholat jamaah di mushola rumah sakit. Tak lagi kubuka facebook itu. Karna terlalu lelah mungkin. Itu berarti sudah 3 jam lebih. Mungkinkah Ia masih disini, digedung ini? Atau digedung yang lain? Tapi dimana. Ada banyak gedung di sini. Yang kutahu, dia tak pernah bahas tentang olahraga favoritnya. Jadi mana aku tahu dia suka olahraga apa. Kubalas lagi pesan itu. “Kau tahu mas, aku disini. Digedung ini. Kau dimana?”.

Kuputusakan untuk berlari ke timur. Jauh memutar dari tempat aku berdiri tadi. Sepi, karna juga hari ini tidak ada jadwal latihan ataupun pertandingan club lokal. Kuputusakan untuk turun, berlari kelapangan. Menginjak rerumputan lapangan luas itu. terjatuh, baju latihan putihku sesaat kotor sudah. Dan aku baru tersadar, saat mataku menatap kebawah. Aku tidak menggunakan alas kaki apapun. Oh Tuhan, segila ini kah aku? Ya, aku pantas seperti ini. Kesempatan ini mungkin tidak akan datang dua kali. Pemuda itu memang gemar menelusuri pelosok negeri. Terakhir, ia kabarkan padaku jika ia sudah di Jakarta. Rindu pada perpustakaan Universitas Indonesia yang tersohor itu. Tak ada kabar jika ternyata sekarang adalah jatahnya untuk menapaki ranah sumatera. Sedikit kecewa, aku berjalan perlahan menuju lapangan sepak bola itu, air menetesi pipiku. Bukan air mata, tapi air yang jatuh dari langit. Gerimis membasahi jilbab hitamku. Tak peduli sebanyak apa air yang sudah membasahi jilbab bahkan bajuku. Aku hanya memandangi Hpku, berharap pesan itu akan tiba. Tapi nihil.

Aku benar-benar kesal pada diriku. Dia juga mungkin menunggu balasan pesan dari siang tadi. Hujan terus saja menghantam tubuhku, sekarang bukan lagi gerimis. Telah berganti dengan deraian air yang lebih ramai. Basah sudah. Air mata dan air hujan tak lagi bisa dibedakan. Kakiku lelah, tak lagi bisa kompromi untuk diajak pergi dari lapangan yang sekarang basah. Aku merintih dalam hati. Kenapa tak beri kabar sebelumnya, kenapa? Aku duduk beralaskan tanah,menyatu dengan rerumputan. Tak ada seorangpun disini. Hanya hujan yang seakan mengerti.

“Hei jagoan, sedang apa disini? Tak ada pertandingan. Kau salah lokasi. Disini tempat orang perebutkan bola. Bukan bertarung”. Suara lelaki yang sepertinya kukenal. Berlomba-lomba dengan nyanyian rintik hujan. Memecah sunyi.

Ku angkat kepalaku perlahan, wajahku yang sudah lebih dulu basah. Tak jelas ekspresi apa yang kutunjukkan padanya. Siapa dia? Tak kukenal sama sekali. 10 detik berlalu, dan kuputuskan untuk berdiri. Wajahnya. Ia adalah pemuda di stasiun tadi pagi, kupandangi wajahnya ragu-ragu. Seperti pernah kulihat sebelumnya, di facebook itu. Benar sudah dugaanku.

“Mas, mas Fathul? Kau kah ini?”.
“Siapa lagi jika bukan aku”. Dia tersenyum. Senyuman yang melumerkan perasaanku yang sedari duduk ditanah tadi sudah mengeras karena kesal. Ini benar-benar dia, aku yakin itu. Kaos yang digunakannyapun berbicara demikian. Kaos hijau bertuliskan ‘Backpacker, besar dan dewasa di jalan nusantara’. Ya, aku ingat. Kaos kebanggaan dari teman backpacker di Lampung yang pernah ia ceritakan. Aku berdiri seperti orang bodoh, berfikir heran. Kapan ia berganti pakaian, karena bukan ini yang ia gunakan tadi pagi.

“Hei, kau masih betah disini? Aku tidak, jadi mari menepi berteduh digedung sana”.

Kamipun berjalan beriringan menuju tempat kami berlindung dari hamparan hujan, tak ada kata lagi yang bisa ku ucapkan. Sungguh pertemuan yang tak terduga. Mungkin takdir Allah jika memang harus bertemu dalam kondisi yang memalukan seperti ini. Aku tidak bisa menyembunyikan lagi wajahku. Dia sudah jelas dihadapanku.

“Ini, keringkan wajahmu itu. Kau basah”. Ia mengeluarkan sapu tangan dari dalam tasnya.
“Di stasiun tadi, kau bilang akan ke masjid agung. Kenapa kau kesini? Kau salah jurusan mas”. Aku bertanya padanya, mencobanya sedari tadi. Sebenarnya, mencairkan suasana yang kaku.

“Ia, aku berubah pikiran. Kau bilang ada kompleks bangunan olahraga di Palembang. Stadion kebanggaan kalian bukan? Yang juga dekat dengan rumahmu. Itu berarti aku sekaligus bisa mengenal lingkungan tempat kau tinggal kan?”. Lagi-lagi ia tersenyum, aku tahu ia mencoba rileks denganku yang sedari tadi nampak kedinginan sekali.

Lega. Berarti dugaanku salah. Bukan salahku jika pemuda ini salah jurusan. Tapi memang itu adalah keputusannya sendiri. Lalu, tak lagi aku berani banyak bicara. Hanya tangannya yang beranjak temukan barang dari dalam tasnya. Sebuah buku berwarna putih yang ia bawa.

“ini, bacalah. Tenang, tak perlu kau minta. Sudah ada tanda tanganku disana”.
“Terimakasih mas, senang sekali bisa bertemu dengan penulis bukunya langsung. Tunggu aku, hingga terkumpul nyaliku untuk bepergian sepertimu. Keliling Indonesia”.
“tenang saja, puncak semeru akan menjadi saksi betapa tangguhnya dirimu jagoan”.

Aku tersenyum, hatiku sekarang sudah terkendali, karenanya.
Sore itu, tak terasa hujan beranjak pergi. Dan kau tahu, pertemuan ini adalah anugerah. Seperti tetesan hujan yang Ia berikan sebagai pengiring kedatanganmu sore ini. Dan aku, akan selalu menyukai hujan beserta nyanyiannya. Dengan itu, aku akan ingat padamu.

 
Design by Asshodiqin Themes | Bloggerized by Armin Asshodiqin - Arm Technologi