Jumat, 22 Maret 2013

PERTIWI DALAM MISTERI


PERTIWI DALAM MISTERI

(Puisi tentang alam)



Lihat!

Coba kau lihat,

Bumi dalam nyanyiannya

Bersenandung menusuk kalbu

Nyanyiannya, nyanyian pilu

Kabarkan berita bahwa ia merindu

Pada sungai, gunung dan sawah yang bisu



Andai saja kalian bisa lihat

Tarian elang bersama ilalang

Tidakkah indahnya alam hanya dari puncak semeru yang gagah itu?

Atau bermanja bersama senja di tanah lot?

Tidak! aku, kamu, dan kalian tidak pernah tahu

Kecuali celoteh para petualang itu

Yang bercerita betapa eloknya nusantara dari zona yang sama.



Pagi ini aku merasakan lagi pelukan embun pagi yang lugu

Bercumbu pada dedaunan dihadapanku

Namun embun pagi tak pernah tahu, dimana pohon yang dulu kokoh diatas tanahku

Tumbang, hilang,

Betapa ganasnya gergaji merampas kehidupannya

Mati bertumpuk dipinggiran dingin air sungai



Tanah yang kupijak tak lagi sama,

Menipu, hingga nadiku berdesir kaku


Andai saja kalian mau lihat,

Gedung yang gagah belasan lantai itu

Dulunya tanahku yang ramai kupu-kupu

tempatku mengadu pada senja yang setia



Yang perlu kita tahu adalah : Bukan bumi yang merusak hari

Tapi tangan yang kotor ini yang menenggelamkan diri kita sendiri


Telah lelah semesta ini dipenuhi isi

Alam sudah marah karena keserakahan manusia

Pertiwiku telah menutup wajahnya

Garudapun, entah terbang kemana

Selasa, 12 Maret 2013

EMAIL TERAKHIR ABI



     Terdengar dering handphone, kupaksakan kakiku beranjak dari sajadah panjang yang menemaniku sehabis dzikir dan sholat subuh hari ini.
      Entah kenapa kakiku terasa berat melangkah, tubuhku seakan ada yang menahan untuk jangan berlari dari tempatku bersimpuh, tapi kupaksakan juga ia berotasi mendekat pada benda itu. Tak mungkin ada orang yang menelpon sepagi ini jika bukan untuk hal sangat penting. 

“Assallamuallaikum!”
“Waallaikumsallam, siapa ini?”, tanyaku pada suara merdu yang ternyata kudapati saat menerima telpon.
“ini,, ini cinta mas. Istrinya mas Abi, mas ingat?”.
“Abi? Abi….”. Dadaku seakan sesak setelah mendengar nama itu, kepalaku berat karena teringat tumpukan memori tentang abi. Mana mungkin aku lupa, mana bisa pula aku menghapus jejak abi. Sisah keegoisannya yang masih jelas membekas.
“Kamu rupanya, ada apa cinta, sepagi ini kau menghubungiku?”
“Mas Bastian, Abi..Abi sekarang….”.

     Apa yang terjadi. Waktu seakan menjadi misteri, subuh yang lengang. Hanya terdengar suara radio tape masjid yang mengumandangkan ayat-ayat suci, keras sekali. Tapi aku masih bisa mendengar suara wanita ini. Kalimat yang ia lontarkan seperti pedang yang mencabik-cabik jantungku hingga ia enggan berdetak lagi karena takut. Lalu, kututup perbincangan itu tanpa permisi. Jelas ia adalah cinta, meski terisak disana, tapi aku mengenalinya.
     Cinta adalah wanita pertama dihati abi, wanita pertama yang berhasil bertahta dan merebut keberadaan wanita-wanita lain yang memaksa masuk dikehidupan abi. Aku kenal betul lelaki itu. Dulu, kuhabiskan masa mudaku bersamanya, tak ada waktu tanpa abi. Dimana abi, disitu bastian. Ketika bastian datang maka yang berdampingan disebelahnya tak lain adalah abi. 
      Pernah ibuku bertanya sinis, rupanya ia curiga dengan kebersamaan kami. Aku ingin tertawa tapi kutahan, karena abi sudah lebih dulu menggoda ibuku. Ibu mana yang tak cemburu melihat anaknya yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan temannya. Aku, Muhammad Bastian adalah anak dari seorang mualaf yang dulunya beragama kristiani. Aku berganti nama, menanggalkan Cristian untuk Muhammad. Abi adalah sosok sahabat sejati, bersamanya aku berusaha mengenal agama baruku. Belajar sholat dan mengaji di masjid sekolah. Bagiku, ia guru private yang setia, meski aku tak pernah berucap demikian dihadapannya. Karena aku tahu, kicaunya akan lebih tinggi dari pujianku.
       Masa SMA yang indah, bisa mengenal lingkungan dan keyakinan yang baru. Sekaligus berjalan bersama dengan orang yang tepat. Tuhanku benar, bersahabatlah dengan orang yang akan membawamu dalam kebaikan. Maka Abi adalah orang itu. Saat aku buta dan berjalan dikegelapan, hanya abi yang berusaha meraih tanganku, penyambung tangan Tuhan untuk menyelamatkanku dari jalan yang salah. Abi, tak bisa kusimpulkan dirimu dengan rumus apapun.
***
     Kubuka jendela kamarku dan menyibak tirainya yang dingin. Gerimis. Seperti inilah dulu, saat abi memutuskan merantau ke kota seberang pulau selepas SMA, hanya hujan yang berbisik mengantarkan kepergian abi. Aku tak bisa mencegah langkah lelaki itu, wataknya yang keras. Tak ingat dia pada janji setia sahabat. Janji, jika akan terus berjalan bersama apapun yang akan terjadi. 
       Kami memiliki impian yang sama. Menjadi specialist tenaga medis di rumah sakit besar di kota ini. Tapi abi, ia ingkar dengan pasti. Melangkah pergi untuk mencari abi yang baru. Aku ingin pula merantau, tapi tak bisa. Siapa yang akan bersama ibuku disini, ia sudah sepuh sepeninggalan ayah. Tak ada yang bisa kulakukan selain mengikhlaskan kepergiannya, walau sesak memadati seluruh ruang didadaku. Hanya pesan yang ia tinggalkan.
“Bas, maafkan aku. Impian ayahku lebih tinggi dari apa yang aku bayangkan. Seseorang tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dimasa depan. Meski kita harus mengais impian masing-masing, aku yakin kau bisa. Kau akan lebih bisa dari anak lelaki yang dilahirkan memang dalam keadaan islam. Kau akan lebih bisa jika kau mau. Jalanmu sudah benar sekarang, dan jadilah orang yang besar di kota kita, jadilah orang besar dihati keluargamu, jadilah orang berhati besar untuk orang-orang yang meyayangimu. Meski aku tahu yang sayang padamu itu hanya aku dan ibumu”. Aku tersenyum membaca secarik kertas yang ia tinggalkan dimeja belajar, bersama gelang yang ia tinggalkan di atasnya, benda itu yang selalu setia, menggantikan abi.
***
       Pagi ini, entah apa yang berkecamuk dibenakku. Memory bersama abi seakan ingin ku ulangi satu demi satu. Beberapa tahun terakhir kami hanya berkomunikasi via email. Kesibukannya sekarang yang membatasi jarak antara kami. Aku selesai dengan gelar sarjana keperawatan sedang abi adalah seorang dokter, dokter spesialist. Keluarga abi memang dengan mudah membiayai anaknya sekolah tinggi, berbeda denganku yang hanya mengandalkan uang pensiunan ayah. 
     Saat ini aku hanya ingin bernostalgia bersama abi, lewat semua email yang ia kirimkan beberapa hari terakhir, entah sudah berapa lama aku tak membalas pesannya.

Jakarta, 26 Januari 2012
      Aku hanya bisa mengirimimu email bas, karena jika pesan lewat handphone, kau tahu isinya tak pernah bisa panjang dan cepat sampai. Pesan-pesan itu beterbangan di udara, dengan bantuan satelit dan diluncurkan ke Handphonemu. Tapi tetap saja isinya suka ngadat kan, susul-susulan, seperti lomba pacuan kuda :D oleh karena itu aku lebih suka via email ini.
     Bas, tinggal di ibu kota ini membuatku mengalami perubahan yang drastis, dramatis dan tak realistis untuk kehidupanku, terlebih lagi untuk logatku yang makin hari makin punah, bahasa daerah kita, bahasa daerah tempatku kuliah dulu yang kau selalu kesal karena kau tak tahu artinya, ra ngertos kabeh ! Dan kau tahu bas, gue sekarang lebih gaul karena orang-orang disini berbahasa layaknya bule dari british. Loe tahu kan bas. Loe pasti paham maksud gue. :D
     Aku lelah sekali hari ini, mentari senjapun tak dapat kutemani karena kakiku yang sibuk mondar-mandir kamar operasi.
***
       Abi, kau pasti sibuk. Sangat sibuk. Meski aku tak tahu persis kesibukan seorang dokter yang bekerja di ibukota. Tapi masih saja kau sempatkan mengirimiku email.
Aku teringat masa-masa kita SMA dulu, masa terberat yang pernah kita lewati bersama. Berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik di rapor terakhir sekolah. Meski kau tahu aku adalah salah satu rival terberatmu kala itu.

“Kau yakin akan jadi yang terbaik tahun ini? Aku tak akan memberimu kesempatan bi. Meski kau memohon dan berdarah-darah dihadapanku. Meminta agar gelar juara berada digenggamanmu, tak akan kuberikan dengan mudah”. Gurauku pada abi yang sibuk belajar diperpustakaan daerah. Tampak fokus dengan buku dan pena yg ia pegang.
“hmm,ya ya ya apa katamu saja bas bas. Aku tak peduli. Selama janur kuning belum melengkung. Ehh, maksudku selama aku yakin bisa, ya aku pasti bisa. Sudah sana, jangan ganggu konsentrasiku. Kau pasti sengaja supaya aku pulang dari sini tak bawa ilmu apa-apa kan? Jahat sekali”.

     Aku hanya tertawa melihat abi saat itu, yang kutahu abi adalah lelaki tangguh yang tak pernah bisa mengalah walau ia sudah terlihat kalah. “My bro, I was born not to be a loser”. Kalimat itu yang selalu keluar dari mulut abi. Kehadiran abi seperti nafas baru bagiku. Semangatnya yang selalu ia wariskan pada orang-orang yang dekat dengannya. Tapi aku ini, apa yang bisa kuperbuat untuk sahabatku sendiri. Rasanya menyedihkan sekali aku. Sudah kupikirkan, bahwa di raport terakhir ini biarlah abi yang menduduki sebagai jawaranya. 

“apa kubilang bas, jika kita yakin bisa. Ya kita pasti bisa. Allah itu adil, ia berikan aku kesempatan untuk jadi yang terbaik di tahun terakhir ini”.
“Ia bi, Allah tahu siapa yang lebih membutuhkan gelar itu. Jadi Ia berikan padamu saja ketimbang aku. Kasian, dari pada kau nanti merengek padaku”. Aku tertawa puas, ikut merayakan kebahagiaan abi saat itu. Biarlah bi, kau lebih pantas mendapatkannya. Seorang dokter butuh predikat itu. Betapa sulitnya aku menyeka air mata, karena aku menyadari, kau akan pergi untuk mengejar cita-citamu dan impian ayahmu di seberang pulau sana. Berarti tinggalah aku disini berjuang dengan cita-citaku, cita-cita kita.
***
     Nyanyian burung gereja diluar jendela kamarku mulai terdengar, seakan mencoba menghiburku. Entah sudah berapa lama aku duduk di kursi ini, setelah percakapan ditelfon tadi. Tinggal 2 email terakhir darimu yang belum kubaca.

Jakarta, 28 juli 2012

“Bekerja dengan rasa cinta berarti menyatukan diri dengan diri kalian sendiri,  dengan diri orang lain dan kepada Tuhan. Tapi bagaimanakah bekerja dengan rasa cinta itu? Bekerja dengan cinta bagaikan menenun kain dengan benang yang ditarik dari jantungmu, seolah-olah kekasihmu yang akan memakainya kelak” (Khalil Gibran)

     "Bas, hari-hariku disini semakin menjadi. Orang-orang disini berbeda dengan tempat kita dulu, juga berbeda dengan teman-teman kampusku. Individualis, itulah yang kusimpulkan dari pengamatanku. Hari ini, ada seorang ibu yang datang kerumah sakit tempatku bekerja. Ia datang dengan bajaj, semua mata manusia tertuju padanya. Mungkin heran karena kendaraan yang ia tumpangi jauh berbeda dengan semua kendaraan yang terparkir di pelataran rumah sakit. Ibu itu membawa anaknya yang mimisan. Nampak kebingungan kemana lagi arah yang akan ia tuju setelah turun dari bajaj itu.
     Yang aku heran, kenapa tak ada satu orangpun yang berusaha membantunya, hanya satpam rumah sakit yang bertanya seperti biasa. anaknya mengidap penyakit yang tergolong mematikan Anemia Aplastik, kau tahu kan bas? Kegagalan sumsung tulang yang menyerang darah. Petugas rumah sakit terheran-heran dengan tindakanku ini, merawat seorang anak dari keluarga yang miskin, entah setelah ini bagaimana ia akan melunasi biaya administrasi. 
       Kau tahu prinsipku kan bas? Setiap orang yang datang kerumah sakit adalah orang-orang yang membutuhkan pertolongan, maka yang kulakukan adalah berusaha memberikan pertolongan pertama untuk Dira, anak perempuan berusia 6 tahun itu. 
     Apa aku salah bas? aku rasa tidak? Hanya mata-mata manusia yang seperti menghakimiku, seolah menuduhku bahwa aku salah besar. Saat ini, Dira masih tertidur pulas di ruang ICU. Ia butuh cangkok sumsung tulang belakang, aku tahu itu tak gampang. Bantu doa ya bas agar Dira diberi kekuatan oleh Allah untuk melalui masa-masa kritisnya. Allah,, ia sungguh masih sangat muda untuk penyakit seberat itu”.
                                                                                ***
Jakarta, 04 Agustus 2012
     “Apa yang ada dalam fikiran orang-orang ini. Bas, aku sedang bertarung dengan kepalsuan. Aku sudah tak tahan lagi, keberadaanku dirumah sakit ini sedang dipertaruhkan. Tindakanku untuk merawat Dira ternyata jadi masalah besar, aku disidang oleh pihak rumah sakit karena tidak bisa mempertanggung jawabkan keputusanku. Keluarga dira tak juga bisa melunasi biaya administrasi rumah sakit. Mana bisa ibunya dengan cepat mendapatkan uang sebanyak itu, ia hanya buruh cuci dan ayahnya seorang supir bajaj. Aku hanya bisa menutupi separuhnya saja. 
     Cinta sedang cuti kerja, dan butuh uang banyak untuk kelahiran bayi kami kelak. Aku tak mungkin minta uang pada ayah. Kupikir ini semua hanya alibi orang-orang tinggi rumah sakit. Karena siang tadi ada pejabat yang datang, minta jatah ruang ICU untuk anaknya. Tak ada tempat lagi, sudah penuh oleh pasien, termasuk Dira. Aku mati-matian mempertahankan keberadaanya disana. sejak itu, jam-jam yang kulewati seakan mencekam. Pihak rumah sakit meminta agar Dira segera dipulangkan saja. Aku jelas tak setuju, dira butuh perawatan intensif dan transfusi darah sembari menunggu cangkok sum-sum tulang yang cocok untuknya. Tapi pejabat itu bersikeras, memaksa agar Dira dipulangkan saja. Dengan bodyguard dikanan kirinya lelaki tua gempal itu menghampiriku. Ucapannya siang tadi seakan ingin membunuh. 
     Bas, rasanya aku rindu sekali denganmu, pada kampung halaman, ayahku dan juga ibumu. Aku tak cocok disini, terlalu banyak resiko yang akan kuhadapi. Bukan berarti aku kalah, tapi aku tak ingin melihat orang-orang kecil seperti keluarga Dira ditindas mati-matian oleh orang-orang macam pejabat ini, pihak rumah sakit hanya tunduk padanya, seperti ada sesuatu, kongsi masalah politik. Aku juga tak mengerti urusan itu. Isi pesan handphoneku tak lain adalah teman-temanku yang berikan saran agar aku mundur saja, karena perdebatan ini terlalu berat untuk dokter baru sepertiku.
     Bas, malam ini aku merasakan rindu yang teramat sangat padamu. Ingin rasanya aku pulang sekarang juga, tapi jelas tak akan bisa. Tunggu sampai selesai urusanku, aku pasti akan datang padamu. Bertukar cerita denganmu. Ahh, sudah lama sekali kita tak makan dikedai depan sekolah, masih ada kan?  Akan kubawa cintaku juga.
Bas, jika nanti aku tak sempat lagi bertemu denganmu… tolong rawat ayahku dan cinta. Hanya mereka harta yang paling berharga bagiku, dan juga kau, Muhammad Bastian“.
***

     Ini email terakhirmu bi, begitu keraskah kehidupanmu disana, hingga kau perlu pertaruhkan hidupmu untuk orang lain. Bermasalah dengan pejabat yang berkuasa. Aku tak yakin aku bisa melakukannya. Nyaliku tak sebesar itu. Abi, apakah hal ini yang membuatmu….
       Tuhan, hanya doa yang bisa kucurahkan untuk sahabatku itu. Berikan ia tempat istimewa disisi-Mu. Bila perlu buatkan istana untuknya disurga-Mu.
    Kalimat cinta ditelfon tadi yang membuat tubuhku layu, “Mas, abi meninggal, abi meninggal. Mayatnya ditemukan didalam mobil malam tadi, bersimbah darah. Banyak bekas tusukan di tubuhnya, juga dikepalanya”.

Aku teringat pada puisi persahabatan Khalil Gibran,  
“Sahabat adalah pemenuhan kebutuhan jiwa. Dialah ladang hati yang ditaburi dengan kasih dan dituai dengan penuh rasa terimakasih,
Sahabat adalah naungan sejuk keteduhan hati dan api unggun kehangatan jiwa.
Akan menghampiri kala hati gersang kelaparan dan dicari saat jiwa mendamba kedamaian.
Ketika tiba saat perpisahan, janganlah ada duka, sebab yang paling kau kasihi dalam dirinya mungkin akan nampak lebih cemerlang dari kejauhan.
Lenyapkan maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya roh kejiwaan.
Persembahkan yang terindah bagi persahabatan. Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenali pula musim pasangmu. Karena persahabatan kan kehilangan makna jika mencarinya sekadar bersama guna membunuh waktu, carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu. Sahabat kan mengisi kekuranganmu, bukan kekosonganmu”.

     Tubuhku terasa layu, bagai kain kotor yang tergelatak dilantai yang basah. Hanya sepi yang terasa menyelimuti sudut kamarku yang kosong.

Selamat jalan Sahabatku,
Selamat jalan Abi Mahesa Jaya…




THE END

 
Design by Asshodiqin Themes | Bloggerized by Armin Asshodiqin - Arm Technologi