Rabu, 26 Juni 2013

Dunia Tanpa Suara

Dunia Tanpa Suara



     “Jadi, Ayah, kalian sudah rencanakan masa depanku? Kalian bukan Tuhan. Sungguh aku tak memiliki daya dan kuasa lagi. Garis tangan yang sudah ditentukan membuat hidupku seperti tersangka yang terpenjara. Maafkan Inai, Ayah. Inai ingin berakhir."

***

      “Tunggu Inai, Ayah. Tunggu!!”
     “Lama sekali kamu, Ayah sudah terlambat. Tak ada waktu lagi, setengah jam lagi Ayah sudah harus tiba di bandara.”
     “Sebentar lagi, Inai punya sesuatu untuk Ayah.” Aku bergegas berlari menuju garasi, berdoa agar Ayah sumringah setelah menerima kado dariku. Tapi setelah tiba disana ternyata Ayah sudah melaju. Ayah, Inai mau kasih Ayah tasbih, Inai beli setelah seminggu menyisihkan uang jajan. Untuk Ayah disana, selama dinas Ayah bisa memakainya, selepas sholat. Ayah harus rajin sholat dan mengaji. Ayah…
      Terbayang lagi olehku memori masa kecil. Ayah yang angkuh karena jabatannya, Ayah yang lebih mementingkan urusan kerjanya dibanding aku, kakak, atau bahkan Ummi. Usiaku sudah hampir 23, sedang berjuang untuk masa-masa akhir kuliah. Berada di dunia ini adalah karena Ayah dan Ummi. Bergelut dengan gudang penyakit adalah campur tangan Ayah dan Ummi. Semuanya karena Ayah dan Ummi. Mau bicara “Ayah, Rinai tidak bisa. Ummi Rinai tidak mau.” Menjadi hal yang sakral. Karena urusan masa depan, Ayah dan Ummi yang ukir. Termasuk urusan mau menjalani hidup dengan siapa aku kelak.
     “Woi, kerjaanmu melamun saja. Apa yang kau fikirkan hah?” Gema suara berat hinggap ditelingaku, pecah sudah lamunanku, entah terbang kemana.
     “Tak ada Bang, hanya melirik-lirik air hujan yang jatuh, saat hujan turun namaku selalu menyertai. Rinai Hujan. Cocokkan Bang?” Candaku pada lelaki tua bertubuh kekar ini. Namanya Catur. Entah kenapa diberi nama demikian. Mungkin, dulu orang tuanya hobi main catur malam-malam. Untung saja warna kulitnya tidak hitam-putih seperti papan catur. Hari ini giliranku dinas pagi. Aku selalu benci jika dapat giliran jaga pagi. Jalanan jika pagi selalu padat. Tinggalah aku dan motorku yang harus merayap, selip kanan dan kiri, berlomba-lomba dengan kendaraan yang lain. Terlambat barang lima belas menit saja, matilah aku. Nama baik Ayah yang dipertaruhkan. Jangan heran, sudah kubilang, berada di tempat ini adalah kehendak Ayah.
      Pagi-pagi hujan sudah membungkus kota, untung saja aku tiba setengah jam lebih awal dibanding hujan. Tak ada yang salah dengan hujan, hujan hanya air. Dengan payung kita tak akan terganggu. Dengan jas hujan, jalan motor akan tetap kencang. Apalagi mobil, sang pengendara akan tetap safety di dalam. Aku tak pernah permasalahkan hadirnya hujan. Toh jika tak ada hujan kita tak akan punya air. Hujan itu karunia Allah, maka syukurilah kehadirannya, jadikanlah teman. Aku heran dengan tetanggaku, tiap hujan dia selalu mencela hadirnya “Sial, Padiku kapan keringnya jika terus-terusan hujan.” Begitu tukasnya tiap kali datang hujan.
***


    “Pagi cantik. Wajahmu itu.” Sapa Sumantri, teman kampusku. Keturunan jawa yang, ah tak usah kujelaskan manusia ini. Tak penting, kerjaannya merayu saja.
      “Ia, ada apa dengan wajahku?” Tanyaku dengan mimik muka sebal.
     “Wajahmu pagi ini, cerah sekali. Merona, bagai bidadari calon penghuni surga.” Rayuan Sumantri pagi ini.
     “Cih, pantas saja pagi-pagi hujan, ada Pak Mantri yang kesambet rupanya.”
     “Ah, kau tak lihat mataku? Ini jujur.”
     Ku abaikan si Mantri, kubuka satu-satu lembaran buku catatan pasien. Ketemu, satu pasien baru hari ini. Aku beranjak dari kursi tempatku duduk sedari tadi. Beralih dari hujan, lalu pindah menyisir satu demi satu bad pasien. Saidina, nama pasien baru ini. Tapi kemana dia? Tak ada. Kutanya tetangga sebelah badnya pun mereka tak tahu. Jangan bilang pasien ini pagi-pagi sudah keluyuran jalan-jalan. Bisa gawat jika Bang Catur tahu pasiennya ngabur tanpa permisi.
     “Pak Mantri, ia kamu Pak Mantri. Sini sebentar.” Seruku galak.
     “Ada apa Inai? Kau baru sadar jika pujianku benar?”
     “Bukan, sini lihat! Kemana orang di bad ini? Saidina, namanya Saidina!”
    “Lah dalah, tadi ada disini toh. Piye? Sebentar lagi Mas Catur selesai apel. Gawat jika ketahuan pasiennya ngabur. Bisa jadi jus apel kita.”
     “Sana cari keluar. Kau ke kanan, aku ke kiri. Ok?”

   Fatal sekali jika satu pasien saja menghilang dari badnya pagi-pagi. Pagi hari itu kerjaan paling ribet serumah sakit, aku berada di stase bedah sekarang, banyak pasien yang operasi, entah karena kecelakaan atau karena memang ada penyakit yang harus dioperasi. Aduh, kemana Saidina ini, buat pusing saja. Hujan telah beranjak pergi sekarang, menyisahkan titik-titik airnya diatas bunga cempaka.
     “Halo, iya halo. Kau dengar suaraku? Ini Ibu Saidina, ia Saidina. Batalkan semua kegiatannya satu minggu kedepan. Halo..halo.. kau dengar kan? Iya, satu minggu. Pagi ini dia akan operasi, jadi bisa dipastikan dia tak akan bisa melanjutkan kegiatan disana. Tunda saja. Ya,ya tunda.”
      Saidina? Sepertinya itu nama yang aku sebut-sebut kesal sedari tadi. Benar saja, dia sedang duduk asik melamun dipinggir lorong rumah sakit yang menghadap ke kolam ikan, apa yang ia lakukan disini, melamun? Menunggu pelangi? Atau berceloteh bersama hujan? Ah, tak mau ambil pusing kegiatan macam apa yang ia lakukan sekarang. Tugasku adalah membawanya kembali ke kamarnya.
     “Selamat pagi Bu! Ini Saidina, pasien ruang cempaka?”
    “Oh, ia nak, benar. Maaf tadi Saidina maksa keluar, sudah Ibu larang karena hujan. Tapi masih saja ia maksa. Mau lihat hujan katanya.” Jelas Ibunya.
   “Ia bu, tidak apa-apa. jadi sekarang bisa kita kembali ke kamar? Karena sebentar lagi ada visite dokternya. Saidina operasi hari ini?”
     “Baik-baik. Ia hari ini rencana operasinya nak.”
     Ibu berpenampilan sederhana, wajahnya jangan ditanya, cantik sekali. Jika tidak salah tebak, mereka dari keturunan Aceh. Walau keriput dimana-mana tapi tetap tampak cantik. Ah, wanita Aceh memang kebanyakan seperti itu, termasuk Ummi. Ummi dibawa Ayah dari Aceh. Semasa tugas disana, menurut cerita silam saat Ayah tugas di Aceh, Ayah jatuh cinta pada gadisnya. Ummi adalah wanita sederhana yang taat betul pada suami. Ummi selalu bilang “Nak, surga untuk para istri itu ada pada suaminya.” Aku tak pernah ke Aceh, padahal inginku sangat kuat untuk kesana. Kasihan sekali jika semasa hidup aku tak pernah berjumpa dengan kakek-nenek disana. sempat aku curi-curi kesempatan untuk kesana. Menjadi backpacker seorang diri, soal ongkos urusan gampang. Tinggal minta sama Ummi, pasti ia rela menyisihkan uang belanja demi anaknya yang hendak menyusuri kota kelahiran Ummi. Ada temanku disana, aku bisa minta temani berkeliling Aceh. Lhok Na, kata Ummi rumahnya dulu disana. setahuku, Lhok Na adalah lokasi terparah saat Tsunami kemarin. Ummi menyimpan rapat-rapat rahasia tentang keluarganya. Ummi kau memang wanita yang tegar. Apa yang Ummi harapkan dari Ayah? Itu yang kubingungkan.
***
    “Selamat pagi Pak Saidina! Saya Rinai, sekarang bapak persiapan operasi ya, ini bajunya dan ini obat-obatan yang harus dibawa ke OK. Mari saya antar.” Sahutku pada lelaki ini, umurnya baru 27. Entah sudah menikah atau belum, ku panggil saja bapak, dari pada Mas, Abang atau Adik.
     Tak ada jawaban, hanya anggukan kepala dan acungan jempol yang menandakan “Ok, I’m ready to go.” Aduh, tak sopan sekali. Bukannya jawab salam dengan baik. Macam bisu saja orang ini. Setelah ku antar ke OK pun hanya anggukan kepala dan senyuman yang kudapat. Aku tahu, itu pertanda ungkapan terimakasih. Tapi, apa salahnya bicara toh bilang terimakasih atau apalah.

***


     Pagi ini aku terbebas dari jeratan Sang Catur. Urusan Saidina beres, tinggal menunggu kepulangannya saja dari OK. Santai.
     Lalu, seorang wanita muda datang menghampiriku, parasnya ayu dengan jilbab yang menjuntai panjang. Ia tersenyum, lalu menyodorkan handphone padaku. Aku tidak butuh handphone karena aku punya sendiri. Ia berikan smartphone yang tak aku miliki. Orang-orang hanya sibuk bertanya Pin padaku, Pin apa? Pin ATM? Ah, memangnya semua umat harus punya handphone yang sama? Selera orang kan beda-beda, sejak kecil aku selalu ingin jadi yang minoritas.
     “Ada yang bisa saya bantu mbak?” Sapaku pada wanita ini. Masih saja memaksaku menerima handphone digenggamannya. Ternyata, ia hanya ingin tunjukan pesan di handphone tadi.
     “Saya Rinjani, istri Pak Saidina. Kemana dia? Apa sudah masuk ruang operasi?” begitulah tulisan yang tertera dilayar handphone miliknya. Jadi, aku harus balas pesan di handphone ini? Ok. Baiklah. Agak aneh, tapi kenapa harus via handphone. Selesai kujawab, ia pun hanya berikan senyuman, tanpa kata. Aku makin penasaran ada apa dibalik kebisuan mereka. Besok akan kutanyakan pada Ibu Saidina tadi. Pikiranku berkecamuk karena mereka, tak mau bicara, atau memang tak dapat bicara.

***

      Esok hari aku kembali dengan rasa penasaran yang sudah memadati seluruh ruang didadaku, juga kepala. Pagi yang indah, kicau burung bersama mentari menyapaku dengan riang. Jadi, harus kubalas dengan riang pula mereka. Bersyukur, bisa kembali memijakkan kaki di Bumi Allah. Selamat pagi dunia! Selamat pagi motorku! Selamat pagi bunga, pohon, embun. Dan Hei, selamat pagi Pak Mantri! Lagi-lagi harus dinas bersamanya. Fiyuh!
      Kulihat dari jauh, itu Saidina bersama istrinya. Dengan lembut Rinjani menyuapinya sarapan pagi. Lamat-lamat kutelusuri gerakan tangan Saidina. Entah apa maksudnya, hanya gerakan tangan, tanpa suara. Dan dibalas jua dengan gerakan tangan Rinjani. Sejak hari itu aku tahu, jika Saidina dan Rinjani adalah sepasang Tuna Rungu. Berbincang dengan lugu dengan isyarat, dan yang tahu hanya mereka berdua. Saling memahami satu sama lain. Kami macam orang dungu yang tak bisa terjemahkan maksud dari gerakan tangan mereka. Hari demi hari, Saidina dan Rinjani macam punya dunia sendiri. Tak pernah bisa kubayangkan jika harus hidup dengan keterbatasan seperti mereka. Akan sangat sulit sekali pasti. tak bisa bicara dan juga mendengar. Itu berarti tak ada suara, tak ada senandung dan tak akan ada musik. Betapa sunyinya kehidupan mereka. Tapi coba lihat! Mereka bisa tertawa. Entah apa yang mereka guraukan disana.

***


      “Selamat pagi Ibu Saidina! Apa kabar?” sapaku padanya yang sedang duduk diberanda rumah sakit.
     “Pagi Nak, alhmdullillah baik. Rinai sendiri bagaimana? Pasti lelah sekali lepas dinas malam. Kau belum tidur?” jawab sang Ibu, sembari mempersilahkan duduk disampingnya.
     “Baik Bu, lelah itu pasti Bu. Tapi tak ada toleransi untuk semua ini. Doakan saja, 4 bulan lagi masa plonco ini selesai.” Kusambut seyumannya, jantungku yang berdegup lebih kencang sedari tadi beranjak lumer dengan senyuman akrabnya. Oh Ummi, andai saja kau ada disini. Akan kukatakan dengan jujur padamu jika wanita Aceh itu memang tak ada duanya.
      Kulihat ada tumpukan naskah drama ditangannya. Tanpa kutanya ia menjelaskan sendiri. 
     “Banyak sekali naskah yang harus dihapal Saidina. Kau tahu nak? Memiliki anak seperti Saidina adalah anugerah yang tak terhingga. Meskipun hidup dengan keterbatasan, ia tak pernah berpangku tangan mengharap welas kasihan orang. Juga Rinjani, menantuku satu itu adalah wanita calon penghuni surga. Ibu yakin itu.”
     “Betapa bahagia Ibu memiliki anak seperti mereka. Lalu, kalau boleh saya tahu, apa pekerjaan Saidina dan Rinjani, Bu?” aku bertanya makin penasaran. Aku membaca, ada sesuatu yang luar biasa yang harus aku tahu dari kehidupan Saidina dan juga Rinjani.
     “Saidina dan Rinjani adalah seorang pengajar Nak. Di dunia yang mereka punya. Saidina sering diundang ke kota-kota besar di Negara ini untuk pentas. Saidina dan Rinjani mendirikan sanggar seni, Dunia Tanpa Suara. Mereka berdua bertemu disekolah dulu. Saidina gemar sekali menggoda Rinjani. Dari kecil mereka bersama. Tanpa suara, hanya mengenal satu sama lain lewat kebiasaan semata. Dan kau tahu? Perempuan itu selalu takluk dengan puisi.”
     Aku takjub dengan penjelasan Sang Ibu. Ia mengisahkan perjalanan hidup anaknya dengan bangga. Tanpa secuil rasa malu.
      “Saya terharu mendengarnya, Bu. Drama dan puisi? Itu berarti hanya dengan isyarat tangan?”
     “Iya Nak, di teaternya ia mengajarkan bagaimana caranya berbicara dengan sesama mereka. Dan kau Nak, bagaimana kehidupanmu? Pasti orang-tuamu bangga punya anak sepertimu. Kau cantik, sempurna. Tak memiliki kekurangan apapun.”
    Dadaku mulai sesak kali ini. Karena pertanyaannya. Kuceritakan padanya apa yang sebenarnya membuatku gulana selama ini. Hal yang membuatku enggan kembali kepangkuan Ayah lebih kurang setengah tahun ini.
      “Yang Ibu lihat sekarang adalah berbeda dengan apa yang ada dihat, Bu. Aku hidup seperti burung dalam sangkar, berada di dunia kesehatan ini adalah keputusan Ayah. Terakhir Ayah bicara padaku jika masa depanku sudah direncanakannya, termasuk jodohku. Dan aku marah sejadi-jadinya. Aku putuskan untuk menurutinya, tapi di kota yang berbeda. Masalah perjodohan kutolak mentah-mentah. Awalnya aku tak mencintai dunia ini. Lalu sejak bertemu dengan orang-orang sebaik dan setulus Ibu dan juga Saidina, aku mulai belajar ikhlas Bu. Ayah sekarang tak bisa apa-apa, hanya bisa duduk dikursi roda. Sepeninggalan Ummi, Ayah seperti raja yang kehilangan tahta.”
     “Maaf Nak, Ibu turut berduka atas apa yang terjadi pada Ibumu. Tapi Nak, patuh pada orang-tua adalah kewajiban tiap anak. Mungkin Ayahmu sangat membutuhkanmu sekarang. Beruntung kau adalah seorang perawat. Ayahmu sakit? ia butuh kau Nak. Biarlah Allah yang menghukum atas segala kekhilafan ayahmu. Jangan kau yang menghukum ayahmu. Ada yang lebih berhak anakku. Ikhlaslah menjalani semua ini, jika kau ikhlas, maka Allah akan berikan yang terbaik. Jangan pernah malu untuk meminta pada-Nya. Karena Allah tahu, kapan waktu yang tepat untuk mengabulkan semua doamu.”

***

      Satu minggu selepas perbincangan itu, aku mulai sedikit-sedikit meluruhkan kebencian didadaku. Aku mulai berhubungan baik dengan ayah, walau hanya sekedar menyapa dan tanyakan kabarnya disana. Ibu Saidina memang benar, aku tak layak menghukum Ayahku. Ada yang lebih berhak. Aku mulai lagi berbincang pada Allah selepas sholat. Dulu, aku malu-malu untuk meminta pada-Nya. Begitu banyak hal yang kupinta. Aku juga mulai mencintai duniaku. Yah, kelak Ayah pasti sangat membutuhkanku. Aku berdoa agar Ummi menungguku disurga. Allah, ajari aku ilmu ikhlas seperti yang Engkau ajarkan pada Ummi. Ummi yang rela dimadu, Ummi yang tertekan batin kala itu. Engkau memang baik, membebaskan Ummi dari sakitnya. Rahasia-Mu Allah, Rinai yakin akan indah pada waktunya kelak.
     Terakhir, ku tahu Saidina ada di Aceh. Ada pementasan disana. mereka mengundangku, tapi mana bisa aku datang. Dan buku ini hadiah darinya, buku cara cepat belajar bahasa isyarat. Agar kelak jika bertemu dengannya aku bisa berkomunikasi dengan mereka. Berbincang dengan penyandang tuna rungu lainnya. Pasti menyenangkan bisa menyelami dunia mereka. Dan aku tak akan penasaran lagi dengan gerakan tangan mereka itu.

      “Rinai. Lon tuan harep droe neuh lam keadaan sehat. Lon tuan preh meuruempok dikali ukeu. Wahe dara tari, teurimeng geunaseh kaleuh neujaga ulon tuan.” (Rinai, Semoga kau selalu dalam keadaan baik. Aku menunggu pertemuan selanjutnya. Gadis cantik, terimakasih sudah merawatku). Saidina Aksa.

***
THE END



Note :
      Nama dan tempat dalam cerpen ini memang disengaja, karena memang begitulah adanya. Terimakasih kepada Bang Catur dan Pak Sumantri yang bersedia meminjamkan namanya untuk kubawa-bawa dalam cerita ini. Juga Pak Saidina Aksa. Terimakasih dan... terimakasih lagi :)
      Cerpen ini adalah salah satu cerpen pemenang dalam lomba di Milad LDK An-Najm Stik Bina Husada Palembang. Juara 1, begitulah yang tertera di pialanya. Namun tak ada karya yang benar-benar sempurna. Yang tersirat dari apresiasi pembaca dan para juri adalah ; Ini adalah langkah awal, dan akan menyusul langkah-langkah yang lainnya. Bismillah!!

 
Design by Asshodiqin Themes | Bloggerized by Armin Asshodiqin - Arm Technologi