Terdengar
dering handphone, kupaksakan kakiku beranjak dari sajadah panjang yang
menemaniku sehabis dzikir dan sholat subuh hari ini.
Entah
kenapa kakiku terasa berat melangkah, tubuhku seakan ada yang menahan untuk
jangan berlari dari tempatku bersimpuh, tapi kupaksakan juga ia berotasi
mendekat pada benda itu. Tak mungkin ada orang yang menelpon sepagi ini jika
bukan untuk hal sangat penting.
“Assallamuallaikum!”
“Waallaikumsallam,
siapa ini?”, tanyaku pada suara merdu yang ternyata kudapati saat menerima
telpon.
“ini,,
ini cinta mas. Istrinya mas Abi, mas ingat?”.
“Abi?
Abi….”. Dadaku seakan sesak setelah mendengar nama itu, kepalaku berat karena
teringat tumpukan memori tentang abi. Mana mungkin aku lupa, mana bisa pula aku
menghapus jejak abi. Sisah keegoisannya yang masih jelas membekas.
“Kamu
rupanya, ada apa cinta, sepagi ini kau menghubungiku?”
“Mas
Bastian, Abi..Abi sekarang….”.
Apa
yang terjadi. Waktu seakan menjadi misteri, subuh yang lengang. Hanya terdengar
suara radio tape masjid yang mengumandangkan ayat-ayat suci, keras sekali. Tapi
aku masih bisa mendengar suara wanita ini. Kalimat yang ia lontarkan seperti
pedang yang mencabik-cabik jantungku hingga ia enggan berdetak lagi karena
takut. Lalu, kututup perbincangan itu tanpa permisi. Jelas ia adalah cinta,
meski terisak disana, tapi aku mengenalinya.
Cinta
adalah wanita pertama dihati abi, wanita pertama yang berhasil bertahta dan
merebut keberadaan wanita-wanita lain yang memaksa masuk dikehidupan abi. Aku
kenal betul lelaki itu. Dulu, kuhabiskan masa mudaku bersamanya, tak ada waktu
tanpa abi. Dimana abi, disitu bastian. Ketika bastian datang maka yang
berdampingan disebelahnya tak lain adalah abi.
Pernah ibuku bertanya sinis,
rupanya ia curiga dengan kebersamaan kami. Aku ingin tertawa tapi kutahan,
karena abi sudah lebih dulu menggoda ibuku. Ibu mana yang tak cemburu melihat
anaknya yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan temannya. Aku, Muhammad
Bastian adalah anak dari seorang mualaf yang dulunya beragama kristiani. Aku
berganti nama, menanggalkan Cristian untuk Muhammad. Abi adalah sosok sahabat
sejati, bersamanya aku berusaha mengenal agama baruku. Belajar sholat dan
mengaji di masjid sekolah. Bagiku, ia guru private yang setia, meski aku tak
pernah berucap demikian dihadapannya. Karena aku tahu, kicaunya akan lebih
tinggi dari pujianku.
Masa
SMA yang indah, bisa mengenal lingkungan dan keyakinan yang baru. Sekaligus
berjalan bersama dengan orang yang tepat. Tuhanku benar, bersahabatlah dengan
orang yang akan membawamu dalam kebaikan. Maka Abi adalah orang itu. Saat aku
buta dan berjalan dikegelapan, hanya abi yang berusaha meraih tanganku,
penyambung tangan Tuhan untuk menyelamatkanku dari jalan yang salah. Abi, tak
bisa kusimpulkan dirimu dengan rumus apapun.
***
Kubuka
jendela kamarku dan menyibak tirainya yang dingin. Gerimis. Seperti inilah
dulu, saat abi memutuskan merantau ke kota seberang pulau selepas SMA, hanya
hujan yang berbisik mengantarkan kepergian abi. Aku tak bisa mencegah langkah
lelaki itu, wataknya yang keras. Tak ingat dia pada janji setia sahabat. Janji,
jika akan terus berjalan bersama apapun yang akan terjadi.
Kami memiliki impian
yang sama. Menjadi specialist tenaga medis di rumah sakit besar di kota ini.
Tapi abi, ia ingkar dengan pasti. Melangkah pergi untuk mencari abi yang baru.
Aku ingin pula merantau, tapi tak bisa. Siapa yang akan bersama ibuku disini,
ia sudah sepuh sepeninggalan ayah. Tak ada yang bisa kulakukan selain
mengikhlaskan kepergiannya, walau sesak memadati seluruh ruang didadaku. Hanya
pesan yang ia tinggalkan.
“Bas, maafkan aku. Impian ayahku
lebih tinggi dari apa yang aku bayangkan. Seseorang tidak akan pernah tahu apa
yang akan terjadi dimasa depan. Meski kita harus mengais impian masing-masing,
aku yakin kau bisa. Kau akan lebih bisa dari anak lelaki yang dilahirkan memang
dalam keadaan islam. Kau akan lebih bisa jika kau mau. Jalanmu sudah benar
sekarang, dan jadilah orang yang besar di kota kita, jadilah orang besar dihati
keluargamu, jadilah orang berhati besar untuk orang-orang yang meyayangimu.
Meski aku tahu yang sayang padamu itu hanya aku dan ibumu”.
Aku tersenyum membaca secarik kertas yang ia tinggalkan dimeja belajar, bersama
gelang yang ia tinggalkan di atasnya, benda itu yang selalu setia, menggantikan
abi.
***
Pagi
ini, entah apa yang berkecamuk dibenakku. Memory bersama abi seakan ingin ku
ulangi satu demi satu. Beberapa tahun terakhir kami hanya berkomunikasi via
email. Kesibukannya sekarang yang membatasi jarak antara kami. Aku selesai
dengan gelar sarjana keperawatan sedang abi adalah seorang dokter, dokter
spesialist. Keluarga abi memang dengan mudah membiayai anaknya sekolah tinggi,
berbeda denganku yang hanya mengandalkan uang pensiunan ayah.
Saat
ini aku hanya ingin bernostalgia bersama abi, lewat semua email yang ia
kirimkan beberapa hari terakhir, entah sudah berapa lama aku tak membalas
pesannya.
Jakarta, 26 Januari 2012
Aku hanya bisa mengirimimu email
bas, karena jika pesan lewat handphone, kau tahu isinya tak pernah bisa panjang
dan cepat sampai. Pesan-pesan itu beterbangan di udara, dengan bantuan satelit
dan diluncurkan ke Handphonemu. Tapi tetap saja isinya suka ngadat kan,
susul-susulan, seperti lomba pacuan kuda :D oleh karena itu aku lebih suka via
email ini.
Bas, tinggal di ibu kota ini
membuatku mengalami perubahan yang drastis, dramatis dan tak realistis untuk
kehidupanku, terlebih lagi untuk logatku yang makin hari makin punah, bahasa
daerah kita, bahasa daerah tempatku kuliah dulu yang kau selalu kesal karena
kau tak tahu artinya, ra ngertos kabeh ! Dan kau tahu bas, gue sekarang
lebih gaul karena orang-orang disini berbahasa layaknya bule dari british. Loe
tahu kan bas. Loe pasti paham maksud gue. :D
Aku lelah sekali hari ini, mentari
senjapun tak dapat kutemani karena kakiku yang sibuk mondar-mandir kamar
operasi.
***
Abi,
kau pasti sibuk. Sangat sibuk. Meski aku tak tahu persis kesibukan seorang
dokter yang bekerja di ibukota. Tapi masih saja kau sempatkan mengirimiku
email.
Aku
teringat masa-masa kita SMA dulu, masa terberat yang pernah kita lewati
bersama. Berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik di rapor terakhir sekolah.
Meski kau tahu aku adalah salah satu rival terberatmu kala itu.
“Kau
yakin akan jadi yang terbaik tahun ini? Aku tak akan memberimu kesempatan bi.
Meski kau memohon dan berdarah-darah dihadapanku. Meminta agar gelar juara
berada digenggamanmu, tak akan kuberikan dengan mudah”. Gurauku pada abi yang
sibuk belajar diperpustakaan daerah. Tampak fokus dengan buku dan pena yg ia
pegang.
“hmm,ya
ya ya apa katamu saja bas bas. Aku tak peduli. Selama janur kuning belum
melengkung. Ehh, maksudku selama aku yakin bisa, ya aku pasti bisa. Sudah sana,
jangan ganggu konsentrasiku. Kau pasti sengaja supaya aku pulang dari sini tak
bawa ilmu apa-apa kan? Jahat sekali”.
Aku
hanya tertawa melihat abi saat itu, yang kutahu abi adalah lelaki tangguh yang
tak pernah bisa mengalah walau ia sudah terlihat kalah. “My bro, I was born not to be a loser”. Kalimat itu yang selalu
keluar dari mulut abi. Kehadiran abi seperti nafas baru bagiku. Semangatnya
yang selalu ia wariskan pada orang-orang yang dekat dengannya. Tapi aku ini,
apa yang bisa kuperbuat untuk sahabatku sendiri. Rasanya menyedihkan sekali
aku. Sudah kupikirkan, bahwa di raport terakhir ini biarlah
abi yang menduduki sebagai jawaranya.
“apa
kubilang bas, jika kita yakin bisa. Ya kita pasti bisa. Allah itu adil, ia
berikan aku kesempatan untuk jadi yang terbaik di tahun terakhir ini”.
“Ia
bi, Allah tahu siapa yang lebih membutuhkan gelar itu. Jadi Ia berikan padamu
saja ketimbang aku. Kasian, dari pada kau nanti merengek padaku”. Aku tertawa
puas, ikut merayakan kebahagiaan abi saat itu. Biarlah bi, kau lebih pantas
mendapatkannya. Seorang dokter butuh predikat itu. Betapa sulitnya aku menyeka
air mata, karena aku menyadari, kau akan pergi untuk mengejar cita-citamu dan
impian ayahmu di seberang pulau sana. Berarti tinggalah aku disini berjuang
dengan cita-citaku, cita-cita kita.
***
Nyanyian
burung gereja diluar jendela kamarku mulai terdengar, seakan mencoba
menghiburku. Entah sudah berapa lama aku duduk di kursi ini, setelah percakapan
ditelfon tadi. Tinggal 2 email terakhir darimu yang belum kubaca.
Jakarta,
28 juli 2012
“Bekerja dengan rasa cinta berarti
menyatukan diri dengan diri kalian sendiri,
dengan diri orang lain dan kepada Tuhan. Tapi bagaimanakah bekerja
dengan rasa cinta itu? Bekerja dengan cinta bagaikan menenun kain dengan benang
yang ditarik dari jantungmu, seolah-olah kekasihmu yang akan memakainya kelak”
(Khalil Gibran)
"Bas, hari-hariku disini semakin
menjadi. Orang-orang disini berbeda dengan tempat kita dulu, juga berbeda
dengan teman-teman kampusku. Individualis, itulah yang kusimpulkan dari
pengamatanku. Hari ini, ada seorang ibu yang datang kerumah sakit tempatku
bekerja. Ia datang dengan bajaj, semua mata manusia tertuju padanya. Mungkin
heran karena kendaraan yang ia tumpangi jauh berbeda dengan semua kendaraan
yang terparkir di pelataran rumah sakit. Ibu itu membawa anaknya yang mimisan. Nampak
kebingungan kemana lagi arah yang akan ia tuju setelah turun dari bajaj itu.
Yang
aku heran, kenapa tak ada satu orangpun yang berusaha membantunya, hanya satpam
rumah sakit yang bertanya seperti biasa. anaknya mengidap penyakit yang
tergolong mematikan Anemia Aplastik, kau tahu kan bas? Kegagalan sumsung tulang
yang menyerang darah. Petugas rumah sakit terheran-heran dengan tindakanku ini,
merawat seorang anak dari keluarga yang miskin, entah setelah ini bagaimana ia
akan melunasi biaya administrasi.
Kau tahu prinsipku kan bas? Setiap orang yang
datang kerumah sakit adalah orang-orang yang membutuhkan pertolongan, maka yang
kulakukan adalah berusaha memberikan pertolongan pertama untuk Dira, anak perempuan
berusia 6 tahun itu.
Apa aku salah bas? aku rasa tidak? Hanya mata-mata manusia
yang seperti menghakimiku, seolah menuduhku bahwa aku salah besar. Saat ini,
Dira masih tertidur pulas di ruang ICU. Ia butuh cangkok sumsung tulang
belakang, aku tahu itu tak gampang. Bantu doa ya bas agar Dira diberi kekuatan
oleh Allah untuk melalui masa-masa kritisnya. Allah,, ia sungguh masih sangat
muda untuk penyakit seberat itu”.
***
Jakarta,
04 Agustus 2012
“Apa yang ada dalam fikiran
orang-orang ini. Bas, aku sedang bertarung dengan kepalsuan. Aku sudah tak
tahan lagi, keberadaanku dirumah sakit ini sedang dipertaruhkan. Tindakanku
untuk merawat Dira ternyata jadi masalah besar, aku disidang oleh pihak rumah
sakit karena tidak bisa mempertanggung jawabkan keputusanku. Keluarga dira tak
juga bisa melunasi biaya administrasi rumah sakit. Mana bisa ibunya dengan
cepat mendapatkan uang sebanyak itu, ia hanya buruh cuci dan ayahnya seorang
supir bajaj. Aku hanya bisa menutupi separuhnya saja.
Cinta sedang cuti kerja,
dan butuh uang banyak untuk kelahiran bayi kami kelak. Aku tak mungkin minta
uang pada ayah. Kupikir ini semua hanya alibi orang-orang tinggi rumah sakit.
Karena siang tadi ada pejabat yang datang, minta jatah ruang ICU untuk anaknya.
Tak ada tempat lagi, sudah penuh oleh pasien, termasuk Dira. Aku mati-matian
mempertahankan keberadaanya disana. sejak itu, jam-jam yang kulewati seakan mencekam.
Pihak rumah sakit meminta agar Dira segera dipulangkan saja. Aku jelas tak
setuju, dira butuh perawatan intensif dan transfusi darah sembari menunggu
cangkok sum-sum tulang yang cocok untuknya. Tapi pejabat itu bersikeras,
memaksa agar Dira dipulangkan saja. Dengan bodyguard dikanan kirinya lelaki tua
gempal itu menghampiriku. Ucapannya siang tadi seakan ingin membunuh.
Bas,
rasanya aku rindu sekali denganmu, pada kampung halaman, ayahku dan juga ibumu.
Aku tak cocok disini, terlalu banyak resiko yang akan kuhadapi. Bukan berarti
aku kalah, tapi aku tak ingin melihat orang-orang kecil seperti keluarga Dira
ditindas mati-matian oleh orang-orang macam pejabat ini, pihak rumah sakit
hanya tunduk padanya, seperti ada sesuatu, kongsi masalah politik. Aku juga tak
mengerti urusan itu. Isi pesan handphoneku tak lain adalah teman-temanku yang
berikan saran agar aku mundur saja, karena perdebatan ini terlalu berat untuk
dokter baru sepertiku.
Bas, malam ini aku merasakan rindu
yang teramat sangat padamu. Ingin rasanya aku pulang sekarang juga, tapi jelas
tak akan bisa. Tunggu sampai selesai urusanku, aku pasti akan datang padamu.
Bertukar cerita denganmu. Ahh, sudah lama sekali kita tak makan dikedai depan
sekolah, masih ada kan? Akan kubawa
cintaku juga.
Bas, jika nanti aku tak sempat lagi
bertemu denganmu… tolong rawat ayahku dan cinta. Hanya mereka harta yang paling
berharga bagiku, dan juga kau, Muhammad
Bastian“.
***
Ini
email terakhirmu bi, begitu keraskah kehidupanmu disana, hingga kau perlu pertaruhkan
hidupmu untuk orang lain. Bermasalah dengan pejabat yang berkuasa. Aku tak
yakin aku bisa melakukannya. Nyaliku tak sebesar itu. Abi, apakah hal ini yang
membuatmu….
Tuhan,
hanya doa yang bisa kucurahkan untuk sahabatku itu. Berikan ia tempat istimewa
disisi-Mu. Bila perlu buatkan istana untuknya disurga-Mu.
Kalimat
cinta ditelfon tadi yang membuat tubuhku layu, “Mas, abi meninggal, abi meninggal. Mayatnya ditemukan didalam mobil
malam tadi, bersimbah darah. Banyak bekas tusukan di tubuhnya, juga
dikepalanya”.
Aku
teringat pada puisi persahabatan Khalil Gibran,
“Sahabat adalah pemenuhan kebutuhan jiwa. Dialah ladang hati yang
ditaburi dengan kasih dan dituai dengan penuh rasa terimakasih,
Sahabat adalah naungan sejuk
keteduhan hati dan api unggun kehangatan jiwa.
Akan menghampiri kala hati gersang
kelaparan dan dicari saat jiwa mendamba kedamaian.
Ketika tiba saat perpisahan,
janganlah ada duka, sebab yang paling kau kasihi dalam dirinya mungkin akan nampak
lebih cemerlang dari kejauhan.
Lenyapkan maksud lain dari
persahabatan kecuali saling memperkaya roh kejiwaan.
Persembahkan yang terindah bagi
persahabatan. Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenali pula
musim pasangmu. Karena persahabatan kan kehilangan makna jika mencarinya
sekadar bersama guna membunuh waktu, carilah ia untuk bersama menghidupkan sang
waktu. Sahabat kan mengisi kekuranganmu, bukan kekosonganmu”.
Tubuhku
terasa layu, bagai kain kotor yang tergelatak dilantai yang basah. Hanya sepi
yang terasa menyelimuti sudut kamarku yang kosong.
Selamat
jalan Sahabatku,
Selamat
jalan Abi Mahesa Jaya…
THE
END
2 komentar:
SANAGT MENYENTUH,,,,(-_-)..
maksih brother.
tp kenapa emotnya gt ya ? :)
Posting Komentar